Thursday 2 April 2015

PROFILAKSI ANTIMIKROBA PADA PEMBEDAHAN

1. Terapi antibiotik profilaksi berbeda dengan terapi presumptive dan terapi antibiotik terapeutik dimana kedua terapi yang terakhir meliputi regimen pengobatan untuk membuktikan atau memperkirakan adanya infeksi, sebaliknya tujuan dari terapi profilaksi adalah untuk mencegah infeksi pada pasien beresiko tinggi atau pada prosedur. 
2. Resiko infeksi pada daerah yang dioperasi (SSI : Surgical Site Infection) ditentukan dari tipe pembedahan dan faktor-faktor resiko spesifik-pasien, bagaimanapun, sistem klasifikasi yang paling sering digunakan hanya mengukur faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan prosedur. 
3. Waktu profilaksi antimikroba sangat penting sekali. Antibiotik seharusnya diberikan 1 jam sebelum pembedahan untuk memastikan kadar obat yang cukup pada bagian yang dioperasi sebelum sayatan awal. 
4. Senyawa-senyawa antimikroba dengan waktu paruh yang pendek (misalnya: cefazolin) mungkin memerlukan pengulangan dosis pada operasi selama prosedur yang lama (> 3 jam). 
5. Salah satu pertimbangan tipe pembedahan, faktor-faktor resiko intrinsik pasien, organisme-organisme patogen yang paling sering diidentifikasi, pola-pola resistensi antimikroba, dan biaya ketika memilih senyawa antimikroba untuk profilaksi. 
6. Profilaksi dosis tunggal sesuai untuk berbagai tipe pembedahan. Sefalosporin generasi pertama ( misalnya; cefazolin) adalah yang utama untuk profilaksi pada banyak prosedur pembedahan karena spektrum aktivitasnya, keamanan dan biaya. 
7. Vankomisin sebagai senyawa profilaksi harus dibatasi penggunaannya karena ada catatan sejarah dari hipersensitivitas β-lactam yang mengancam jiwa atau timbulnya infeksi dari organisme yang resisten terhadap cefazolin (misalnya; Methicillin Resistent Staphylococcus aureus [MRSA] ) yang cukup tinggi pada penggunaan yang dibenarkan. Berdasarkan The National Center for Health Statistics, sekitar 46 juta prosedur pembedahan dilakukan setiap tahunnya di Amerika Serikat, mayoritas setelah selesai operasi menjadi pasien rawat jalan. Infeksi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada pembedahan. Infeksi pada bagian yang dioperasi (SSI) terjadi sekitar 3%-6% dari pasien dan memperlama waktu rawat inap sampai sekitar 7 hari yang secara langsung meningkatkan anggaran tahunan dari 5 milyar dolar menjadi 10 milyar dolar. SSI adalah yang ketiga (14%-16%) paling sering menyebabkan infeksi nosokomial di antara pasien-pasien rawat inap, dan terutama (40%) menyebabkan infeksi nosokomial pada pasien-pasien yang dioperasi. Pemberian profilaksi dengan antibiotik menurunkan resiko infeksi setelah proses pembedahan dan merupakan komponen penting dalam pelayanan masyarakat ini. Antibiotik sebelumnya diberikan pada kontaminasi jaringan steril atau cairan sebelum dipertimbangkan antibiotik profilaksi. Tujuan terapi adalah untuk mencegah perkembangan infeksi. Sementara pemusnahan infeksi distal ( yang ada sebelumnya, berhubungan dengan pembedahan) menurunkan resiko akibat infeksi pasca operasi, sebaliknya, pada hakikatnya, merupakan regimen profilaksi. Pada kenyataannya, profilaksi pembedahan seringkali diresepkan bersamaan dengan keadaan ini karena pentingnya spektrum antimikroba dan waktu pemberian obat. Baik SSI maupun infeksi yang tidak berkaitan secara langsung dengan bagian yang dioperasi, diistilahkan dengan nosokomial (misalnya; infeksi saluran urin, pneumonia, dll). Pencegahan infeksi yang diperoleh dari rumah sakit adalah tujuan utama dari antibiotik profilaksi. Terapi antibiotik presumptive diberikan ketika infeksi diduga tetapi belum terbukti. Skenario kinik dimana terapi presumptive digunakan biasanya seperti cholecystitis akut, komplikasi terbuka, dan appendicitis akut kurang dari durasi 24 jam. Pada situasi ini, jika tanda-tanda perforasi atau infeksi tidak dijumpai selama pembedahan, maka penggunaan rutin profilaksi lebih dibenarkan daripada terapi presumptive. Pada operasi yang menemukan adanya gangren kandung kemih atau perforasi appendix, bagaimanapun, ini menunjukkan proses infeksi yang tidak dapat dipungkiri, dan memerlukan regimen antibiotik terapeutik. Menurut The Center for Disease Control and Prevention’s (CDC) National Nosocomial Infections Surveillance System (NNIS), SSI dapat dikategorikan sebagai infeksi sayatan (misalnya: cellulitis pada bagian sayatan) atau infeksi organ (misalnya: meningitis) (Gambar 121-1). SSI pada sayatan lebih lanjut dimasukkan kedalam subkategori superfisial ( hanya meliputi kulit atau jaringan subkutan) dan infeksi bagian dalam ( lapisan fascial dan lapisan otot). SSI pada organ meliputi sejumlah bagian anatomi selain bagian sayatan. Sebagai contoh, pasien yang mengalami perkembangan bakteri peritonitis setelah pembedahan usus termasuk ke dalam SSI pada organ. Dari definisi, SSI terjadi sekitar 30 hari setelah pembedahan. Jika prosthetic implant diperlukan, bagaimanapun, SSI pada sayatan dalam atau SSI pada organ dilaporkan terjadi diatas 1 tahun setelah tanggal operasi. Walaupun tes mikrobiologi dari operasi pembuangan material atau suatu bagian mungkin membantu pedoman pelayanan, kekhususan dari kultur negatif adalah kurang dan secara umum mengenyampingkan SSI. FAKTOR-FAKTOR RESIKO SSI Munculnya SSI bergantung pada faktor prosedur dan faktor pasien. Secara tradisional, resiko SSI telah dibagi dari prosedur operasi dalam sistem klasifikasi yang dikembangkan oleh the National Research Council (NRC) (Tabel 121-1). Sistem klasifikasi NRC mengusulkan bahwa resiko SSI didasarkan pada mikrobiologi bagian yang dioperasi, infeksi yang ada sebelumnya, kemungkinan kontaminasi dari jaringan yang belum steril selama pembedahan, dan kejadian-kejadian selama dan setelah pembedahan. Prosedur klasifikasi pasien menurut NRC merupakan faktor utama apakah antibiotik profilaksi diperlukan,. Hal ini seharusnya ditekankan, bagaimanapun, hal itu karena klasifikasi pasien terluka menurut NRC dipengaruhi oleh penemuan-penemuan operasi (misalnya; gangren kandung kemih) dan kejadian-kejadian sekitar operasi (misalnya; teknik pemotongan utama), dikategorikan secara umum terjadi secara intraoperatif. Sistem klasifikasi NRC tidak hanya mencatat faktor-faktor dasar yang mempengaruhi resiko pasien terhadap perkembangan SSI, sebaliknya juga mengkategorikan secara sederhana resiko SSI berdasarkan prosedur operasi spesifik. Status dan kondisi penyakit diketahui dapat meningkatkan resiko SSI diperlihatkan pada tabel 121-2. Infeksi distal yang ada sebelumnya meningkatkan laju SSI dan harus diputuskan sebelumnya untuk pembedahan jika mungkin. Pasien diabetes memiliki peningkatan resiko SSI, terutama pada pasien dengan gula darah yang tidak terkontrol. Merokok sebelum operasi telah diketahui sebagai faktor resiko utama terjadinya SSI karena efek merusak nikotin pada penyembuhan luka. Immunosuppresi sebelum operasi, seperti penggunaan kortikosteroid, juga dapat meningkatkan resiko infeksi. Kurangnya gizi adalah penggambaran yang baik sebagai faktor resiko untuk komplikasi pasca operasi, termasuk SSI, melemahkan proses penyembuhan luka dan colonic anastamosis, dan memperlama waktu tinggal di rumah sakit. Walaupun konsumsi makanan selama periode operasi dapat menurunkan translokasi bakteri dengan mempertahankan keutuhan mukosa intestinal, tambahan nutrisi makanan belum menunjukkan penurunan insiden dari infeksi. Pembentukan koloni dari Staphylococcus aureus adalah penggambaran yang baik dari faktor resiko SSI. Dua percobaan prospektif menganjurkan bahwa pembasmian Staphylococcus aureus pada hidung dengan mupirosin secara signifikan mengurangi insiden SSI jika dibandingkan dengan kontrol sejarah pada pasien yang menjalani pembedahan jantung dan saluran pencernaan atas. Percobaan yang lebih besar, bagaimanapun, diperlukan sebelum terapi ini dapat digunakan secara rutin. Faktor-faktor lain yang menunjukkan peningkatan resiko SSI termasuk umur, lamanya tinggal di rumah sakit sebelum operasi, dan kegemukan. IDENTIFIKASI RESIKO SSI Dua studi epidemiologi yang besar mengukur jumlah resiko SSI secara objektif berdasarkan pada faktor spesifik pasien dan faktor prosedur yang menyertainya. The Studi on the Efficacy of Nosocomial Infection Control (SENIC) menganalisa lebih dari 100.000 kasus pembedahan diidentifikasi dan disahkan sebagai faktor-faktor resiko SSI. Operasi abdominal, operasi yang memakan waktu lebih dari 2 jam, kontaminasi atau prosedur “kotor” (sebagai bagian dari klasifikasi NRC), dan lebih dari tiga basis diagnosa medis yang dihubungkan dengan peningkatan insiden SSI. Ketika klasifikasi NRC telah digolongkan dengan adanya penomoran faktor resiko SENIC, insiden SSI dibedakan atas faktor dari 15 kategori operasi yang sama pada NRC (Tabel 121-3). NNIS, pada analisis berikutnya dengan lebih dari 84.000 kasus operasi, mencoba untuk mempermudah dan menyaring sistem SENIC dengan mengukur resiko intrinsik pasien menggunakan penilaian angka praoperasi menurut American Society of Anesthesiologist (ASA) (Tabel 121-4). Pada nilai ASA 3 atau lebih besar diketahui merupakan prediksi yang kuat terhadap perkembangan SSI. Faktor-faktor lain yang dihubungkan dengan peningkatan SSI seperti kontaminasi atau operasi “kotor” (kriteria NRC) dan prosedur yang memakan waktu lebih lama dari rata-rata. Sama halnya dengan studi SENIC, laju SSI telah dihubungkan dengan angka dari faktor-faktor resiko yang dihasilkan dan sangat berbeda dengan kelas NRC. Walaupun anjuran berdasarkan bukti-bukti untuk profilaksi antimikroba selama pembedahan adalah terbukti baik menggunakan percobaan klinis secara acak, banyak penelitian hanya menggunakan sedikit sampel dan tidak ada pembagian tingkatan pasien berdasarkan resiko SSI secara menyeluruh. Studi ke depan, terutama sekali menyangkut prosedur yang bersih, seharusnya dipisahkan dengan resiko SSI sehingga pasien dengan resiko tinggi yang paling diuntungkan dari profilaksi terbukti dengan jelas. BAKTERIOLOGI Pertimbangan yang paling penting ketika memilih antibiotik profilaksi adalah bakteriologi daerah pembedahan. Organisme yang termasuk dalam SSI diperoleh melalui 1-2 cara : secara endogen ( dari flora normal pasien ) dan eksogen ( dari kontaminasi selama operasi ). Berdasarkan tipe dan lokasi anatomi dari prosedur dan klasifikasi NRC (Lihat tabel 121-1), flora normal dapat diprediksi, dan pemilihan antibiotik yang tepat dapat dilakukan. Berdasarkan data NNIS, Staphylococcus aureus, coagulase-negative Staphylococcus, Enterococcus, Eschericia coli, dan Pseudomonas aeruginosa adalah mikroba patogen yang paling banyak diisolasi (Tabel 121-5). Dengan penggunaan yang luas dari antibiotik broad-spectrum, meskipun begitu Candida spp, dan Staphylococcus aureus yang resisten terhadap methisilin menjadi sesuatu yang lebih umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan organisme menginduksi SSI bergantung pada jumlah organisme, organisme yang mematikan, dan kemampuan sistem kekebalan inang. Organisme dalam flora komensalisme biasanya tidak bersifat patogen. Organisme ini sering membantu inang sebagai bentuk proteksi melawan invasi organisme yang sebaliknya akan menempati daerah yang dioperasi. Organisme yang menguntungkan biasanya berada dalam pengawasan flora normal dan jarang sekali menjadi masalah kecuali mereka ditemukan dalam jumlah yang besar. Kehilangan flora normal akibat pemakaian antibiotik spektrum luas dapat menurunkan kestabilan homeostasis ini, sehingga mengakibatkan bakteri patogen berproliferasi dan terjadi infeksi. Jika translokasi pada daerah jaringan steril atau cairan selama prosedur pembedahan, flora normal dapat menjadi patogen. Sebagai contoh, Staphylococcus aureus, S. epidermidis mungkin ditranslokasi dari permukaan kulit ke dalam jaringan atau E. coli dari kolon ke rongga perut, aliran darah, atau saluran urin. Studi pada hewan dan sukarelawan menunjukkan bakteri yang mematikan menjadi faktor yang paling penting pada perkembangan infeksi sekunder. Contoh infeksi pada hewan telah ditunjukkan bahwa lebih dari 1juta Staphylococcus aureus per cm2 atau gram jaringan diperlukan untuk menyebabkan infeksi, kurang dari 100.000 Streptococcus pyogenes per cm2 atau gram jaringan juga diperlukan untuk menghasilkan infeksi yang sama. Kerusakan sistem pertahanan inang menurunkan jumlah bakteri yang diperlukan untuk memperlihatkan infeksi. Kerusakan sistem pertahanan normal inang melalui intervensi pembedahan ( misalnya pemasukan alat prostetik) memungkinkan organisme menyebabkan infeksi. Lagipula, hilangya faktor-faktor kekebalan spesifik seperti aktivasi komplemen, inhibitor jaringan ( misalnya proinflammatory cytokines), cell mediated response (misalnya fungsi sel T) dan fungsi granulosit atau fagosit (misalnya neutrofil atau makrofag) dapat meningkatkan resiko perkembangan SSI. Pembuluh darah yang tidak lancar berkaitan dengan prosedur pembedahan atau hal itu terjadi dari shock hypovolemic sangat mempengaruhi aliran darah ke daerah pembedahan, hal ini menurunkan sistem kekebalan melawan invasi mikroba. Jaringan yang luka, hematoma, dan adanya benda asing juga berperan pada infeksi-infeksi lebih lanjut. Ketika zat asing masuk selama prosedur operasi, kurang dari 100 unit koloni bakteri diperlukan untuk menyebabkan SSI. Studi pemeriksaan kontaminasi S. aureus di sekitar infeksi pada kulit dari sukarelawan menunjukkan 10.000 kali lipat penurunan jumlah organisme yang diperlukan untuk menentukan infeksi luka jika tidak dijahit. Kolonisasi inang dengan flora rumah sakit yang resisten terhadap antibiotik sebelum atau selama pembedahan dapat berperan pada SSI yang tidak merespon terapi antibiotik secara rutin. Studi epidemiologi menjelaskan bahwa penyebab infeksi nosokomial yang paling sering diperoleh dari organisme multiresisten merupakan transmisi personil rumah sakit. Pasien yang diobati dengan antibiotik spektrum luas juga beresiko meningkatnya kolonisasi dengan flora rumah sakit. Dengan pemberian sefalosporin sebagai senyawa pilihan pertama untuk profilaksi lebih dari 10 tahun terakhir, organisme yang resisten terhadap sefalosporin menggambarkan patogen yang mayoritas menyebabkan SSI. CDC telah melaporkan bahwa peningkatan yang berbahaya dari timbulnya infeksi Enterococcus yang resisten terhadap vankomisin (VRE), terutama sekali E. faecium. Faktor resiko kolonisasi VRE termasuk penyakit yang parah, immunosuppressi, masuk ke dalam unit gawat darurat, intraabdominal sebelumnya atau operasi cardiothorax, penempatan kateter, dan perpanjangan penggunaan antibiotik terutama vankomisin. Dalam upaya untuk mengontrol penjalaran VRE, CDC telah mengumumkan anjurannya termasuk kriteria yang ketat untuk menggunakan vankomisin sebagai profilaksi operasi. Pedoman menganjurkan penggantian vankomisin pada cefazolin sebagai profilaksi SSI hanya jika ada kecurigaan yang besar pada resistensi S. aureus terhadap methisilin atau pada pasien yang mempunyai sejarah alergi yang mengancam jiwa dari penisilin atau sefalosporin. Pembatasan penggunaan vankomisin yang lain, didasarkan pada resiko peningkatan organisme resisten, seperti aktivitas spektrum sempit, sedikitnya penetrasi ke dalam beberapa jaringan, dan potensi terjadinya reaksi yang berhubungan dengan infusi. Munculnya S. aureus menunjukkan resistensi lanjutan ( Minimum Inhibitory Concentration (MIC) ≥ 8 mcg/ml ) selanjutnya perlu ditentukan kebutuhan untuk membatasi penggunaan rutin vankomisin profilaksi. Walaupun cefazolin adalah pilihan yang utama pada profilaksi SSI kardiovaskular, kegagalan pengobatan ini telah dilaporkan pada kasus yang menyangkut Methicillin-Sensitive S. aureus (MSSA). Pada percobaan perbandingan antara cefamandazol dengan cefazolin, secara signifikan lebih banyak kegagalan yang dihubungkan dengan cefazolin, walaupun patogen utamanya adalah MSSA. Percobaan yang sama membandingkan cefazolin dengan cefuroxim, bagaimanapun, tidak menunjukkan adanya perbedaan timbulnya SSI antara kedua regimen. Telah dikemukan bahwa β-laktamase dipercepat oleh beberapa MSSA agar mampu menghidrolisa cefazolin lebih mudah dibanding cefuroxim atau cefamandol. Walaupun keadaan ini mengganggu, secara keseluruhan insiden kegagalan cefazolin tetap sedikit dan tetap menjadi obat pilihan untuk profilaksi SSI pada operasi jantung. Peningkatan frekuensi infeksi jamur pada operasi pasien telah menarik perhatian, pada pasien rawat inap, insiden infeksi Candida nosokomial telah diperkirakan berlipat ganda dari tahun 1991 sampai 1996. Penggunaan yang berlebihan dari antibiotik spektrum-luas kemungkinan paling banyak menyebabkan peningkatan ini. Penelitian pada pasien yang menjalani operasi jantung yang diketahui jenis kelaminnya (wanita), yang dirawat di ruang unit gawat darurat, dan durasi pemasangan kateter pada pusat vena sebagai faktor resiko infeksi Candida pasca operasi. Sementara kolonisasi Candida sebelum operasi berkaitan dengan tingginya resiko SSI jamur, penggunaan rutin profilaksi senyawa antijamur sebelum operasi tidak dianjurkan pada saat ini. Dasar-dasar selanjutnya harus dipertimbangkan ketika memberikan profilaksi antimikroba operasi : 1. senyawa-senyawa harus diberikan pada daerah operasi sebelum sayatan pertama, dan 2. konsentrasi bakterisid dari antibiotik harus dipertahankan pada daerah operasi sepanjang prosedur operasi. Sementara itu, model-model hewan dan manusia telah menunjukkan kemanjuran dosis tunggal dari antibiotik yang diberikan hanya sebelum kontaminasi bakteri, operasi yang lama seringkali memerlukan dosis intraoperatif dari antibiotik untuk mempertahankan konsentrasi yang cukup pada daerah operasi selama pembedahan. Antibiotik seharusnya diberikan dengan anastesi hanya sebelum sayatan pertama. Pemberian antibiotik yang terlalu cepat mungkin menghasilkan konsentrasi di bawah MIC menjelang akhir operasi, dan pemberian yang terlalu lama membiarkan pasien tidak terlindungi pada saat sayatan pertama. Pada penelitian pengujian waktu pemberian antibiotik pada 2847 pasien yang menerima profilaksi (2-24 jam sebelum operasi), profilaksi sebelum operasi (0-2 jam sebelum operasi), profilaksi pada saat operasi (hingga 3 jam setelah sayatan pertama), dan profilaksi setelah operasi (lebih dari 3 jam setelah sayatan pertama). Resiko terinfeksi paling rendah (0,6%) pada pasien yang menerima profilaksi sebelum operasi, pertengahan (1,4%) pada pasien yang menerima antibiotik pada waktu operasi dan yang besar adalah yang menerima antibiotik setelah operasi (3,3%) atau antibiotik sebelum operasi yang terlalu cepat (3,8%). Hasil ini menunjukkan bahwa beresiko hingga peningkatan SSI secara dramatis dengan tiap-tiap jam yang berlalu dari sayatan awal menjadi waktu ketika antibiotik akhirnya diberikan. Untuk alasan ini, antibiotik profilaksi seharusnya tidak diserahkan untuk diberikan “dengan menghubungi bagian OR”, yang dapat menjadi 2 jam dan lebih lama sebelum sayatan awal, tidak semua antibiotik terapetik mengandalkan pemberian proteksi yang cukup pada situasi keduanya, dan kesempatan untuk waktu pengobatan yang pantas adalah waktu dosis yang tinggi. Walaupun pentingnya ketepatan waktu terapi antibiotik profilaksi, beberapa pasien menerima antibiotik pada waktu yang optimal berkaitan dengan pembedahan. Barier-barier potensial seperti pemberian antibiotik setelah pasien sampai di ruang operasi, keterlambatan persiapan atau pengantaran antibiotik, dan penggunaan antibiotik yang memerlukan waktu infusi yang panjang. Satu studi penilaian waktu pemberian antibiotik profilaksi pada 100 pasien dan ditemukan bahwa hanya 26% dari pasien menerima dosis antibiotik sekitar 2 jam dari sayatan awal operasi. Walaupun banyak penelitian membandingkan dosis tunggal dan dosis berganda dari antibiotik profilaksi telah gagal menunjukkan manfaat dari regimen multidosis, durasi operasi pada penelitian ini mungkin tidak selama seperti frekuensi yang diamati pada praktek klinik. Anjuran pemberian antibiotik dosis kedua selama jangka waktu operasi disarankan jika beresiko SSI hanya baik dilakukan pada akhir operasi, selama saat penutupan, sebagaimana halnya dengan selama sayatan awal. Satu penelitian pada pasien-pasien yang menjalani pembersihan operasi yang terkontaminasi disarankan prosedurnya lebih lama 3 jam membutuhkan dosis kedua cefazolin pada saat operasi atau penggantian cefazolin dengan senyawa antimikroba yang mempunyai aktivitas yang lebih lama. Penelitian kedua pada pasien yang menjalani pembedahan elektrik dari kolorektal membutuhkan konsentrasi serum antimikroba yang rendah pada saat penutupan operasi adalah prediksi yang kuat dari SSI setelah operasi. Penelitian pada pasien yang menjalani operasi jantung juga menunjukkan laju infeksi yang tinggi di antara pasien dengan konsentrasi serum antibiotik yang tidak terdeteksi pada akhir prosedur. Satu cara untuk memastikan ketepatan pengulangan dosis antibiotik profilaksi selama operasi yang lama adalah dengan memakai sistem perekam visual atau auditori. Satu rumah sakit telah melaporkan mempunyai pengalaman dengan satu sistem dan menemukan bahwa dengan penyimpan otomatis memenuhi kebutuhan dan menurunkan SSI. Bagaimanapun, walaupun menggunakan sistem pengingat, pengulangan dosis pada waktu operasi telah dilakukan hanya 68% dari pasien yang memenuhi syarat, strategi lain pada waktu sekarang mulai dievaluasi sebagai dasar kelanjutan dari infusi cefazolin. Satu penelitian percobaan telah menemukan sebuah cara yang mudah untuk memastikan konsentrasi serum antibiotik yang cukup selama perpanjangan waktu pembedahan, kegagalan lebih lanjut adalah diperlukan sebelum suatu intervensi dapat direkomendasikan. Pokok yang mendasari pembagian penyakit yang dapat mempengaruhi metabolisme antibiotik dan/atau eliminasinya seharusnya betul-betul dipertimbangkan ketika mengembangkan regimen profilaksi. Sebagai contoh, pasien dengan luka bakar dan luka spinal cord pasti dipisahkan pembagiannya dari antibiotik, terutama aminoglikosida dan β-laktam, yang biasanya tinggi laju perbandingannya dengan kontrol. Individu yang menjalani cardiac bypass mungkin memiliki kecenderungan perubahan antibiotik dihubungkan dengan peningkatan Vd dan penurunan Cl total tubuh dan juga karenanya memerlukan pertimbangan dosis khusus. PEMILIHAN ANTIBIOTIK Pemilihan antibiotik profilaksi didasarkan pada jenis prosedur operasi, patogen yang seringkali terlihat dengan prosedur ini, profil keamanan dan kemanjuran dari senyawa antimikroba, literatur yang secara langsung mendukung penggunaannya, dan biaya. Walaupun banyak SSI memerlukan flora normal pasien, seleksi antimikroba juga harus digunakan dalam laporan contoh-contoh yang rentan terhadap patogen nosokomial dengan masing-masing institusi. Khususnya, gram-positif dimasukkan dalam memilih profilaksi operasi karena organisme seperti S. aureus dan S. epidermidis paling banyak ditemukan sebagai flora kulit. Keputusan memperluas antibiotik profilaksi menggunakan senyawa-senyawa dengan spektrum aktivitas gram-negatif dan anaerobik bergantung pada bagian yang dioperasi (misalnya; saluran pernapasan atas, saluran gastrointestinal, saluran genitourinary, dll) dan apakah operasi akan transect lubang viskositas membran atau membran mukosa yang mungkin berisi flora tetap. Walaupun antimikroba profilaksi mungkin diberikan dengan berbagai rute (misalnya; oral, topikal, intramuskular,dll), rute parenteral sangat disukai karena dipercaya dapat mencapai konsentrasi jaringan yang cukup. Sefalosporin adalah senyawa yang paling banyak diresepkan untuk profilaksi operasi karena spektrum antimikrobanya yang luas, profil farmakokinetiknya yang baik, rendahnya insiden efek samping yang merugikan, dan harganya murah. Sefalosporin generasi pertama, seperti cefazolin, adalah pilihan yang lebih disukai untuk profilaksi operasi. Terutama sekali untuk prosedur operasi yang besih. Pada kasus dimana senyawa dengan spektrum aktivitas yang lebih luas terhadap gram-negatif dan anaerobik diperlukan, sefalosporin antianaerobik, seperti cefoksitin atau cefotetan, adalah pilihan yang dianjurkan. Walaupun sefalosporin generasi ketiga (misalnya; ceftriakson) telah dianjurkan untuk profilaksi karena peningkatan cakupan gram-negatifnya dan perpanjangan waktu paruh, aktivitas inferior gram-positif dan anaerobiknya, disamping mahal harganya, telah memperkecil penggunaan dari senyawa ini. Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling banyak dijumpai dengan penggunaan sefalosporin, ini dapat dibagi dari manifestasi kulit yang kecil pada tempat infusi menjadi ruam, pruritus dan kejadian anaphylaxis yang jarang terjadi (0,02%). Struktur yang sama antara penisilin dan sefalosporin (sama-sama mengandung cincin β-laktam) menyebabkan pemahaman yang salah tentang alergi-silang antara kedua kelas obat ini. 20% dari populasi umum ditandai dengan ”alergi penisilin”, belum ada penelitian yang mendukung dari pasien ini, hanya 10% sampai 20% memberikan hasil positif dengan tes penisilin pada kulit. Laju reaktivitas-silang sekitar 2% tetapi sekarang ini hanya 20% dari semua pasien ”alergi penisilin” benar-benar alergi terhadap penisilin, insiden yang benar dengan reaktivitas-silang kurang lebih sekitar 1%. Pengujian penisilin pada kulit secara rutin tidaklah efektif bagi banyak pasien yang dinyatakan ”alergi penisilin” dan obat-obat tersebut mungkin digunakan pada pasien yang tidak mempunyai pengalaman pada alergi penisilin yang cepat atau alergi penisilin tipe I. Vankomisin mungkin dipertimbangkan untuk terapi profilaksi pada prosedur operasi, meliputi implantasi alat prothestic dengan laju MRSA tinggi. Jika resiko MRSA rendah dan ada hipersensitivitas β-laktam, klindamisin dapat digunakan untuk banyak prosedur sebagai pengganti cefazolin dalam membatasi penggunaan vankomisin. Efek samping pada infusi seperti thrombophlebitis dan hipotensi, terutama dengan vankomisin, biasanya dapat dikontrol oleh dilusi yang cukup dan laju administrasi yang lambat. Pseudomembran colitis sekunder terhadap sefalosporin adalah jarang dan biasanya mudah ditangani dengan waktu yang singkat oleh metronidazol oral. Walaupun jarang terjadi, pendarahan abnormal yang dihubungkan dengan penggunaan sefalosporin telah dilaporkan. Efek hematologi yang utama disebabkan inhibisi dari vitamin K-faktor penggumpal darah yang menghasilkan perpanjangan waktu prothrombin. Mekanisme efek ini, lebih banyak terlihat dengan cefotetan, yang berhubungan dengan methylthiotetrazole rantai samping dari molekul β-laktam. Pasien dengan resiko besar terhadap efek hypothrombinemic telah menerima senyawa ini dalam waktu yang lama dan memiliki faktor-faktor resiko yang mendasari defisiensi vitamin K seperti malnutrisi. Semenjak antibiotik profilaksi yang tidak tepat digunakan, tidak hanya dapat meningkatkan resistensi antibiotik tetapi juga dapat berpengaruh negatif pada anggaran institusi antibiotik, inisiatif untuk membatasi penggunaan antibiotik yang tidak tepat telah menjadi fokus usaha-usaha dalam mengevaluasi penggunaan banyak obat. Sumber potensial dari antibiotik yang tidak tepat termasuk penggunaan antimikroba spektrum-luas ketika senyawa spektrum-sempit yang diperlukan, perpanjangan durasi profilaksi yang melebihi batas yang dianjurkan, dan penggunaan antibiotik yang mahal ketika pada saat yang sama tersedia senyawa yang murah. Banyak peralatan yang efektif untuk memastikan ketepatan peresepan antibiotik profilaksi yang diketahui merupakan salah satu bagian dari infeksi setelah operasi yang mendasari setiap tipe prosedur pembedahan dan epidemiologi bakteri yang disusun untuk tiap populasi operasi, batas institusi individu yang meliputi fakta-fakta dari catatan literatur terbaik, data institusi berdasarkan kelemahan antibiotik, dan pemilihan ahli bedah terbaik juga sangat penting untuk rasionalisasi penggunaan obat.

PHARMACOTHERAPI A Phatophysiologic Approach
by Joseph T. Dipiro PharmD, FCCP Sixth Edition , McGraw- Hill Medical Publishing Division, New York . Year 2005 Page : 2217 - 2231

0 comments: