Thursday 14 November 2013

My Dress Design

Coretan Dress


Syahadat Sempurna


How To Master Your Habit By Utdz Felix Siaw


Wednesday 11 September 2013

Anatomi dan Fisiologi Kulit Manusia

A. Anatomi Kulit
Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh, merupakan organ terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh, pada orang dewasa sekitar 2,7 – 3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5 – 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Kulit tipis terletak pada kelopak mata, penis, labium minus dan kulit bagian medial lengan atas. Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki, punggung, bahu dan bokong. Secara embriologis kulit berasal dari dua lapis yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis yang merupakan lapisan epitel berasal dari ectoderm sedangkan lapisan dalam yang berasal dari mesoderm adalah dermis atau korium yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat. (Ganong, 2008).
Secara histopatologis kulit tersusun atas 3 lapisan utama yaitu :
EPIDERMIS
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Terdiri dari epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel melanosit, Langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan kulit. Terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu. Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam):
1. Stratum Korneum
    Terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti.
2. Stratum Lusidum
    Berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal telapak kaki dan
    telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis.
3. Stratum Granulosum
    Ditandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng yang intinya ditengah dan   sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang dinamakan granula keratohialin yang mengandung protein kaya akan histidin. Terdapat sel Langerhans.
4. Stratum Spinosum
Terdapat berkas-berkas filament yang dinamakan tonofibril, dianggap filamenfilame tersebut memegang peranan penting untuk mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi. Epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan dan tekanan mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak tonofibril. Stratum basale dan stratum spinosum disebut sebagai lapisan Malfigi. Terdapat sel Langerhans.
5. Stratum Basale (Stratum Germinativum)
Terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara konstan. Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke permukaan, hal ini tergantung letak, usia dan faktor lain.Merupakan satu lapis sel yang mengandung melanosit. Fungsi Epidermis : Proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel Langerhans) (Wasitaatmadja, 1997).

DERMIS
Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering dianggap sebagai “True Skin”. Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan jaringan subkutis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal pada telapak kaki sekitar 3 mm.
Dermis terdiri dari dua lapisan :
Lapisan papiler; tipis mengandung jaringan ikat jarang.
Lapisan retikuler; tebal terdiri dari jaringan ikat padat.
Serabut-serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen berkurang dengan bertambahnya usia. Serabut elastin jumlahnya terus meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit manusia meningkat kira-kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen saling bersilangan dalam jumlah besar dan serabut elastin berkurang menyebabkan kulit terjadi kehilangan kelemasannya dan tampak mempunyai banyak keriput. Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis juga mengandung beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Kualitas kulit tergantung banyak tidaknya derivat epidermis di dalam dermis. Fungsi Dermis : struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi, menahan shearing forces dan respon inflamasi (Wasitaatmadja, 1997).
SUBKUTIS
Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi. Fungsi Subkutis / hipodermis : melekat ke struktur dasar, isolasi panas, cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh dan mechanical shock absorber. (Wasitaatmadja, 1997).

Reseptor yang cepat beradaptasi di kulit yaitu reseptor taktil (sentuh) dikulit yang memberitahu mengenai perubahan tekanan pada permukaan kulit. Karena reseptor ini cepat beradaptasi maka seseorang tidak menyadari sedang memakai jam tangan, cincin dan sebagainya. Sewaktu memakai sesuatu maka akan terbiasa karena adanya adaptasi cepat reseptor tersebut. Sewaktu mencopotnya maka akan menyadarinya karena adanya off response (Sherwood, 2001).
Mekanisme adaptasi untuk korpus atau badan Pacini (Pacinian corpuscle) suatu reseptor kulit yang mendeteksi tekanan dan getaran diketahui dari sifat-sifat fisiknya. Korpus Pacini adalah suatu ujung reseptor khusus yang terdiri dari lapisan-lapisan konsentrik jaringan ikat mirip kulit bawang yang membungkus ujung perifer suatu neuron aferen (Sherwood, 2001).
            Setiap neuron sensorik berespons terhadap informasi sensorik hanya dalam daerah terbatas dipermukaan kulit sekitarnya, daerah ini dikenal sebagai lapangan reseptif (receptive field). Ukuran lapangan reseptif bervariasi berbanding terbalik dengan kepadatan reseptor didaerah tersebut. Semakin dekat penempatan reseptor jenis tertentu, maka semakin kecil daerah kulit yang terpantau oleh reseptor tersebut. Semakin kecil lapangan reseptif di suatu daerah maka semakin besar ketajaman (acuity) atau kemampuan diskriminatif (Sherwood, 2001).
Arteri yang memberi nutrisi pada kulit membentuk pleksus terletak antara lapisan papiler dan retikuler dermis dan selain itu antara dermis dan jaringan subkutis. Cabang kecil meninggalkan pleksus ini memperdarahi papilla dermis, tiap papilla dermis punya satu arteri asenden dan satu cabang vena. Pada epidermis tidak terdapat pembuluh darah tapi mendapat nutrient dari dermis melalui membran epidermis (Moffat, dkk., 2004).

B.  FISIOLOGI KULIT
Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh diantaranya adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol suhu tubuh (termoregulasi), sensasi, eskresi dan metabolisme. Fungsi proteksi kulit adalah melindungi dari kehilangan cairan dari elektrolit, trauma mekanik, ultraviolet dan sebagai barier dari invasi mikroorganisme patogen. Sensasi telah diketahui merupakan salah satu fungsi kulit dalam merespon rangsang raba karena banyaknya akhiran saraf seperti pada daerah bibir, puting dan ujung jari. Kulit berperan pada pengaturan suhu dan keseimbangan cairan elektrolit. Termoregulasi dikontrol oleh hipothalamus. Temperatur perifer mengalami proses keseimbangan melalui keringat, insessible loss dari kulit, paru-paru dan mukosa bukal. Temperatur kulit dikontrol dengan dilatasi atau kontriksi pembuluh darah kulit. Bila temperatur meningkat terjadi vasodilatasi pembuluh darah, kemudian tubuh akan mengurangi temperatur dengan melepas panas dari kulit dengan cara mengirim sinyal kimia yang dapat meningkatkan aliran darah di kulit. Pada temperatur yang menurun, pembuluh darah kulit akan vasokontriksi yang kemudian akan mempertahankan panas. dapat meningkatkan aliran darah di kulit. Pada temperatur yang menurun, pembuluh darah kulit akan vasokontriksi yang kemudian akan mempertahankan panas.
Sensasi kulit adalah sensasi yang reseptornya ada dikulit, sedangkan sensasi visera adalah sensasi yang berkaitan dengan persepsi lingkungan dalam, nyeri dari alat-alat visera biasanya digolongkan sebagai sensasi visera. Terdapat 4 sensasi kulit yaitu: raba-tekan (tekanan adalah rabaan yang ditahan agak lama), dingin, hangat, dan nyeri. Kulit mengandung berbagai jenis ujung saraf sensorik yang meliputi ujung saraf telanjang, saraf yang melebar, serta ujung saraf yang terselubung (Ganong, 2008).

C.  Fungsi Kulit
Kulit mempunyai berbagai fungsi yaitu sebagai berikut :
1. Pelindung atau proteksi
Epidermis terutama lapisan tanduk berguna untuk menutupi jaringanjaringan tubuh di sebelah dalam dan melindungi tubuh dari pengaruhpengaruh luar seperti luka dan serangan kuman. Lapisan paling luar dari kulit ari diselubungi dengan lapisan tipis lemak, yang menjadikan kulit tahan air. Kulit dapat menahan suhu tubuh, menahan luka-luka kecil, mencegah zat kimia dan bakteri masuk ke dalam tubuh serta menghalau rangsang-rangsang fisik seperti sinar ultraviolet dari matahari.
2. Penerima rangsang
Kulit sangat peka terhadap berbagai rangsang sensorik yang berhubungan dengan sakit, suhu panas atau dingin, tekanan, rabaan, dan getaran. Kulit sebagai alat perasa dirasakan melalui ujung-ujung saraf sensasi.
3. Pengatur panas atau thermoregulasi
Kulit mengatur suhu tubuh melalui dilatasi dan konstruksi pembuluh kapiler serta melalui respirasi yang keduanya dipengaruhi saraf otonom. Tubuh yang sehat memiliki suhu tetap kira-kira 98,6 derajat Farenheit atau sekitar 36,50C. Ketika terjadi perubahan pada suhu luar, darah dan kelenjar keringat kulit mengadakan penyesuaian seperlunya dalam fungsinya masing-masing. Pengatur panas adalah salah satu fungsi kulit sebagai organ antara tubuh dan lingkungan. Panas akan hilang dengan penguapan keringat.
4. Pengeluaran (ekskresi)
Kulit mengeluarkan zat-zat tertentu yaitu keringat dari kelenjar-kelenjar keringat yang dikeluarkan melalui pori-pori keringat dengan membawa garam, yodium dan zat kimia lainnya. Air yang dikeluarkan melalui kulit tidak saja disalurkan melalui keringat tetapi juga melalui penguapan air transepidermis sebagai pembentukan keringat yang tidak disadari.
5. Penyimpanan.
Kulit dapat menyimpan lemak di dalam kelenjar lemak.
6. Penyerapan terbatas
Kulit dapat menyerap zat-zat tertentu, terutama zat-zat yang larut dalam lemak dapat diserap ke dalam kulit. Hormon yang terdapat pada krim muka dapat masuk melalui kulit dan mempengaruhi lapisan kulit pada tingkatan yang sangat tipis. Penyerapan terjadi melalui muara kandung rambut dan masuk ke dalam saluran kelenjar palit, merembes melalui dinding pembuluh darah ke dalam peredaran darah kemudian ke berbagai organ tubuh lainnya.
7. Penunjang penampilan
Fungsi yang terkait dengan kecantikan yaitu keadaan kulit yang tampak halus, putih dan bersih akan dapat menunjang penampilan Fungsi lain dari kulit yaitu kulit dapat mengekspresikan emosi seseorang seperti kulit memerah, pucat maupun konstraksi otot penegak rambut.

C. Warna Kulit
Warna kulit sangat beragam, dari yang berwarna putih mulus, kuning, coklat, kemerahan atau hitam. Setiap warna kulit mempunyai keunikan tersendiri yang jika dirawat dengan baik dapat menampilkan karakter yang menarik. Warna kulit terutama ditentukan oleh :
1. Oxyhemoglobin yang berwarna merah
2. Hemoglobin tereduksi yang berwarna merah kebiruan
3. Melanin yang berwarna coklat
4. Keratohyalin yang memberikan penampakan opaque pada kulit, serta
5. Lapisan stratum corneum yang memiliki warna putih kekuningan atau keabu-
    abuan.
Dari semua bahan-bahan pembangun warna kulit, yang paling menentukan warna kulit adalah pigmen melanin. Banyaknya pigmen melanin di dalam kulit ditentukan oleh faktor-faktor ras, individu, dan lingkungan. Melanin dibuat dari tirosin sejenis asam amino dan dengan oksidasi, tirosin diubah menjadi butir-butir melanin yang berwarna coklat, serta untuk proses ini perlu adanya enzim tirosinase dan oksigen. Oksidasi tirosin menjadi melanin berlangsung lebih lancar pada suhu yang lebih tinggi atau di bawah sinar ultra violet. Jumlah, tipe, ukuran dan distribusi pigmen melanin ini akan menentukan variasi warna kulit berbagai golongan ras atau bangsa di dunia. Proses pembentukan pigmen melanin kulit terjadi pada butir-butir melanosom yang dihasilkan oleh sel-sel melanosit yang terdapat di antara sel-sel basal keratinosit di dalam lapisan benih.

D. Jenis-jenis Kulit
Upaya untuk perawatan kulit secara benar dapat dilakukan dengan terlebih dahulu harus mengenal jenis-jenis kulit dan ciri atau sifat-sifatnya agar dapat menentukan cara-cara perawatan yang tepat, memilih kosmetik yang sesuai, menentukan warna untuk tata rias serta untuk menentukan tindakan koreksi baik dalam perawatan maupun dalam tata rias. Kulit yang sehat memiliki ciri :
1. Kulit memiliki kelembaban cukup, sehingga terlihat basah atau berembun
2. Kulit senantiasa kenyal dan kencang
3. Menampilkan kecerahan warna kulit yang sesungguhnya
4. Kulit terlihat mulus, lembut dan bersih dari noda, jerawat atau jamur
5. Kulit terlihat segar dan bercahaya
6. Memiliki sedikit kerutan sesuai usia.

Pada umumnya jenis kulit manusia dapat dikelompokkan menjadi :
1. Kulit Normal
Kulit normal cenderung mudah dirawat. Kelenjar minyak (sebaceous gland) pada kulit normal biasanya ‘tidak bandel’, karena minyak (sebum) yang dikeluarkan seimbang, tidak berlebihan ataupun kekurangan. Meski demikian, kulit normal tetap harus dirawat agar senantiasa bersih, kencang, lembut dan segar. Jika tidak segera dibersihkan, kotoran pada kulit normal dapat menjadi jerawat. Selain itu kulit yang tidak terawat akan mudah mengalami penuaan dini seperti keriput dan tampilannya pun tampak lelah.
Ciri-ciri kulit normal adalah kulit lembut, lembab berembun, segar dan bercahaya, halus dan mulus, tanpa jerawat, elastis, serta tidak terlihat minyak yang berlebihan juga tidak terlihat kering. Meskipun jika dilihat sepintas tidak bermasalah, kulit normal tetap harus dijaga dan dirawat dengan baik, karena jika tidak dirawat, kekenyalan dan kelembaban kulit normal akan terganggu, terjadi penumpukan kulit mati dan kotoran dapat menyebabkan timbulnya jerawat.
2. Kulit Berminyak
Kulit berminyak banyak dialami oleh wanita di daerah tropis. Karena pengaruh hormonal, kulit berminyak biasa dijumpai pada remaja puteri usia sekitar 20 tahunan, meski ada juga pada wanita usia 30-40 tahun yang mengalaminya. Penyebab kulit berminyak adalah karena kelenjar minyak (sebaceous gland) sangat produktif, hingga tidak mampu mengontrol jumlah minyak (sebum) yang harus dikeluarkan. Sebaceaous gland pada kulit berminyak yang biasanya terletak di lapisan dermis, mudah terpicu untuk bekerja lebih aktif. Pemicunya dapat berupa faktor internal atau faktor eksternal, yaitu :
a. Faktor internal meliputi :
1) Faktor genetis : anak dari orang tua yang memiliki jenis kulit berminyak,
    cenderung akan memiliki kulit berminyak pula.
2) Faktor hormonal : hormon manusia sangat mempengaruhi produksi keringat.
    Karena itulah pada wanita yang sedang menstruasi atau hamil akan lebih sering  
    berkeringat. Selain itu stres dan banyak gerak juga dapat menjadi pemicu
    keringat berlebihan.
b. Faktor eksternal meliputi :
1) Udara panas atau lembab.
2) Makanan yang dapat merangsang keluarnya keringat seperti makanan yang terlalu pedas baik karena cabai atau merica, makanan yang terlalu asin, makanan yang berbumbu menyengat seperti bawang putih, makanan yang terlalu berminyak serta makanan dan minuman yang terlalu panas. Kulit berminyak memerlukan perawatan khusus dibandingkan kulit normal. Pada jenis kulit ini, minyak berlebihan yang dibiarkan akan menjadi media yang baik bagi pertumbuhan bakteri yang pada saat selanjutnya akan menjadi jerawat, radang atau infeksi.
Merawat kulit berminyak bukan berarti membuat kulit benarbenar bebas minyak, karena minyak pada kulit tetap diperlukan sebagai alat pelindung alami dari sengatan sinar matahari, bahanbahan kimia yang terkandung dalam kosmetika maupun terhadap polusi. Yang perlu dilakukan adalah menjaga agar kadar sebum tetap seimbang dan kulit tetap dalam keadaan bersih agar bakteri penyebab jerawat dapat terhambat. Memiliki jenis kulit berminyak, memiliki kelebihan yaitu membantu menjaga kelembaban lapisan dermis hingga memper-lambat timbulnya keriput.
Ciri-ciri kulit berminyak yaitu : minyak di daerah T tampak berlebihan, tekstur kulit tebal dengan pori-pori besar hingga mudah menyerap kotoran, mudah berjerawat, tampilan wajah berkilat, riasan wajah seringkali tidak dapat melekat dengan baik dan cepat luntur serta tidak mudah timbul kerutan.
3. Kulit Kering
Kulit kering memiliki karakteristik yang cukup merepotkan bagi pemiliknya, karena pada umumnya kulit kering menimbulkan efek yang tidak segar pada kulit, dan kulitpun cenderung terlihat berkeriput. Kulit kering memiliki kadar minyak atau sebum yang sangat rendah dan cenderung sensitif, sehingga terlihat parched karena kulit tidak mampu mempertahankan kelembabannya. Ciri dari kulit kering adalah kulit terasa kaku seperti tertarik setelah mencuci muka dan akan mereda setelah dilapisi dengan krim pelembab. Kondisi kulit dapat menjadi lebih buruk apabila terkena angin, perubahan cuaca dari dingin ke panas atau sebaliknya. Garis atau kerutan sekitar pipi, mata dan sekitar bibir dapat muncul dengan mudah pada wajah yang berkulit kering.
Berbagai faktor yang menjadi penyebab kulit menjadi kering,
diantaranya :
a. Faktor genetik
Faktor genetik merupakan kondisi bawaan seseorang, termasuk kondisi kulit wajah yang kering.
b. Kondisi struktur kulit
Kondisi kelenjar minyak yang tidak mampu memberi cukup lubrikasi untuk kulit, menimbulkan dehidrasi pada kulit.
c. Pola makan
Pola makan yang buruk, kekurangan nutrisi tertentu seperti vitamin A dan vitamin B merupakan salah satu pemicu kulit menjadi kering.
d. Faktor lingkungan
Pengaruh lingkungan seperti terpapar sinar matahari, angin, udara dingin, radikal bebas atau paparan sabun yang berlebihan saat mandi atau mencuci muka pun akan sangat berpengaruh pada pembentukan kulit kering
e. Penyakit kulit
Kondisi lainnya yang sangat berpeluang menjadi penyebab kulit kering adalah karena kulit terserang penyakit tertentu seperti eksim, psoriasis dan sebagainya. Kulit kering merupakan bentuk lain dari tanda tidak aktifnya kelenjar thyroid dan komplikasi pada penderita diabetes. Kulit kering terjadi jika keseimbangan kadar minyak terganggu. Pada kulit berminyak terjadi kelebihan minyak dan pada kulit kering justru kekurangan minyak. Kandungan lemak pada kulit kering sangat sedikit,sehingga mudah terjadi penuaan dini yang ditandai keriput dan kulit terlihat lelah serta terlihat kasar. Kulit kering memerlukan perawatan yang bersifat pemberian nutrisi agar kadar minyak tetap seimbang dan kulit dapat selalu terjaga kelembabannya.
Kulit kering memiliki ciri-ciri : kulit halus tetapi mudah menjadi kasar, mudah merekah dan terlihat kusam karena gangguan proses keratinisasi kulit ari, tidak terlihat minyak berlebihan di daerah T yang disebabkan oleh berkurangnya sekresi kelenjar keringat dan kelenjar palit atau kelenjar minyak. Ciri lainnya yaitu mudah timbul kerutan yang disebabkan oleh menurunnya elastisitas kulit dan berkurangnya daya kerut otot-otot, mudah timbul noda hitam, mudah bersisik, riasan yang dikenakan tidak mudah luntur, reaktivitas dan kepekaan dinding pembuluh darah terhadap rangsangan-rangsangan berkurang sehingga peredaran darah tidak sempurna dan kulit akan tampak pucat, suram dan lelah.
4. Kulit Sensitif
Diagnosis kulit sensitif didasarkan atas gejala-gejala penambahan warna, dan reaksi cepat terhadap rangsangan. Kulit sensitif biasanya lebih tipis dari jenis kulit lain sehingga sangat peka terhadap hal-hal yang bisa menimbulkan alergi (allergen). Pembuluh darah kapiler dan ujung saraf pada kulit sensitif terletak sangat dekat dengan permukaan kulit. Jika terkena allergen, reaksinya pun sangat cepat. Bentuk-bentuk reaksi pada kulit sensitif biasanya berupa bercak merah, gatal, iritasi hingga luka yang jika tidak dirawat secara baik dan benar akan berdampak serius. Warna kemerahan pada kulit sensitif disebabkan allergen memacu pembuluh darah dan memperbanyak aliran darah ke permukaan kulit. Berdasarkan sifatnya tadi, perawatan kulit sensitif ditujukan untuk melindungi kulit serta mengurangi dan menanggulangi iritasi.
Kulit sensitif seringkali tidak dapat diamati secara langsung, diperlukan bantuan dokter kulit atau dermatolog untuk memeriksanya dalam tes alergi-imunologi. Dalam pemeriksaan alergi, biasanya pasien akan diberi beberapa allergen untuk mengetahui kadar sensitivitas kulit. Kulit sensitif memiliki ciri-ciri sebagai berikut : mudah alergi, cepat bereaksi terhadap allergen, mudah iritasi dan terluka, tekstur kulit tipis, pembuluh darah kapiler dan ujung saraf berada sangat dekat dengan permukaan kulit sehingga kulit mudah terlihat kemerahan. Faktor-faktor yang dapat menjadi allergen bagi kulit sensitif antara lain : makanan yang pedas dan berbumbu tajam, kafein, nikotin dan minuman beralkohol, niasin atau vitamin B3, kandungan parfum dan pewarna dalam kosmetika, sinar ultraviolet dan gangguan stres. Kulit sensitif berbeda dengan kulit reaktif. Meski timbul bercak kemerahan atau gatal-gatal akibat penggunaan kosmetika tertentu, belum tentu menjadi gejala atau tanda kulit sensitif. Kemungkinan bercak kemerahan tadi hanya menandakan iritasi ringan, yang akan hilang sendiri. Kulit reaktif seperti ini dapat menjadi sensitif jika iritasi kemudian meluas dan sukar sembuh. Untuk membedakannya perlu dilakukan tes alergi-imunologi oleh dokter kulit.
5. Kulit Kombinasi atau Kulit Campuran

Faktor genetis menyebabkan kulit kombinasi banyak ditemukan di Asia. Banyak wanita timur terutama di daerah tropis yang memiliki kulit kombinasi : kering-berminyak atau normal-berminyak. Pada kondisi tertentu kadang dijumpai kulit sensitif-berminyak. Kulit kombinasi terjadi jika kadar minyak di wajah tidak merata. Pada bagian tertentu kelenjar keringat sangat aktif sedangkan daerah lain tidak, karena itu perawatan kulit kombinasi memerlukan perhatian khusus. Area kulit berminyak dirawat dengan perawatan untuk kulit berminyak dan di area kulit kering atau normal dirawat sesuai dengan jenis kulit tersebut. Kulit kombinasi atau kulit campuran memiliki ciri-ciri sebagai berikut : kulit di daerah T berminyak sedangkan di daerah lain tergolong normal atau justru kering atau juga sebaliknya. Di samping itu tekstur kulit sesuai jenisnya yakni di area kulit berminyak akan terjadi penebalan dan di area normal atau kering akan lebih tipis.

Tuesday 11 June 2013

Proses Pembuatan Saccharas Ferricus

Saccharas Ferricus
Bahan Awal yang harus disiapkan yaitu FeCl3 ditimbang, setelah itu dilarutkan dgn aquades atau aquabides


Langka ke-2 Setelah FeCl3 benar-benar larut dambahkan sedikit demi sedikit Na2Co3 yang telah dilarutkan dengan cara enaptuang

Penambahan Na2Co3

 Langka ke-3 Tambahkan akuades atau akubides sejumlah tertentu biar kan mengendap dan air dibuang lalu di cuci kembali sampai bebas Cl, dicek mngunakan AgNo3 negatif jika tidak terdapat endapan putih.

Langka ke-4 Sediaan ditambahkan NaOH sampai basa, lalu ditambahkan gula halus 25mg, aduk.

Langka ke-5 Sediaan diupkan diatas watebath sampai kering lalu timbang jumlah keselurah, kekurangan masa cukupkan dgn penambahan gula sampai 100 gram.

Langka ke-6 Sediaan dicampurkan, lalu digerus, dan siap di packing.

Thursday 23 May 2013

Epilepsi dan Obat Antiepilepsi


Epilepsi
            Epilepsi adalah nama umum untuk sekelompok gangguan atau penyakit susunan saraf pusat yang timbul spontan dan berulang dengan episoda singkat (disebut bangkitan berulang atau recurrent seizure), dengan gejala utama kesadaran menurun sampai hilang. Bangkitan ini biasanya disertai kejang (konvulsi), hiperaktivitas otonomik, gangguan sensorik atau psikik dan selalu disertai gambaran letupan EEG (abnormal dan eksesif). Untuk penyakit epilepsi, gambaran EEG bersifat diagnostik. Berdasarkan gambaran EEG, epilepsi dapat dinamakan disritmia serebral yang bersifat paroksismal (Utama, 2007).
            Bangkitan epilepsi merupakan fenomena klinis yang berkaitan dengan letupan listrik atau depolarisasi abnormal yang eksesif, terjadi di suatu fokus dalam otak yang menyebabkan bangkitan paroksismal. Fokus ini merupakan neuron epileptik yang sensitif terhadap rangsang disebut neuron epileptik. Neuron inilah yang menjadi sumber bangkitan epilepsi (Utama, 2007).
            Konsep terjadinya epilepsi telah dikemukakan satu abad yang lalu oleh John Hughlings Jackson, bapak epilepsi modern. Pada fokus epilepsi di korteks serebri terjadi letupan yang timbul kadang-kadang, secara tiba-tiba, berlebihan dan cepat, letupan ini menjadi bangkitan umum bila neuron normal disekitarnya terkena pengaruh letupan tersebut. Konsep ini masih tetap dianut dengan beberapa perubahan kecil. Adanya letupan depolarisasi abnormal yang menjadi dasar diagnosis diferensial epilepsi memang dapat dibuktikan  (Utama, 2007).
            Mekanisme dasar terjadinya bangkitan umum primer adalah karena adanya cetusan listrik di fokal korteks. Cetusan listrik tersebut akan melampaui ambang inhibisi neuron di sekitarnya, kemudian menyebar melalui hubungan sinaps kortiko-kortikal. Tidak ada gejala klinis yang tampak, abnormalitas EEG tetap terekam pada periode antar kejang. Kemudian, cetusan korteks tersebut menyebar ke korteks kontralateral melalui jalur hemisfer dan jalur nukleus subkorteks. Gejala klinis, tergantung bagian otak yang tereksitasi misalnya salivasi, midriasis, takikardi. Aktivitas subkorteks akan diteruskan kembali ke fokus korteks asalnya sehingga akan meningkatkan aktivitas eksitasi dan terjadi penyebaran cetusan listrik ke neuron-neuron spinal melalui jalur kortikospinal dan retikulospinal sehingga menyebabkan kejang tonik-klonik umum. Secara klinis terjadi terjadi fase tonik-klonik berulang kali dan akhirnya timbul “kelelahan” neuron pada fokus epilepsi dan menimbulkan paralisis dan kelelahan pascaepilepsi (Utama, 2007).

Obat Antiepilepsi
            Penyebab epilepsi adalah kerusakan otak pada manusia muda (terutama trauma pada saat kelahiran), luka pada otak, tumor otak, ensefalitis, intoksikasi dan lain-lain. Epilepsia maior, dalam persentae yang kecil, disebabkan juga oleh faktor keturunan (Mutschler, 1991)
            Antiepileptika digunakan untuk menangani secara simptomatik berbagai jenis epilepsi. Yang diinginkan dari suatu antiepileptika untuk dapat digunakan ialah bahwa ia menaikkan nilai ambang kejang, sebaliknya hampir tidak mempengaruhi rangsangan motorik normal, pada dosis untuk menghambat kejang sebaiknya mempunyai kerja sedatif/hipnotik yang kecil, dan pada pemakaian lama hanya mempunyai efek samping yang kecil (Mutschler, 1991).
            Mekanisme aksi obat-obat antiepilepsi menurut Rall dan Schleifer (1992) melalui dua cara :
1.      Mencegah atau menurunkan lepasnya muatan listrik yang berlebihan,
2.      Mengurangi penyebaran pacuan dari fokus serangan dan mencegah cetusan serta putusnya fungsi agregasi normal neuron.
Sebagian besar sediaan obat yang ada sekanrang melalui mekanisme ini (Wibowo, 2001).
            GABA berfungsi sebagai transmiter penghambat eksitabilitas neuron. Ada dua macam reseptor GABA di sistem saraf pusat (SSP), yakni GABAA dan GABAB. Stimulasi reseptor GABAA menimbulkan kenaikan permeabilitas ion klorida dan induksi hiperpolarisasi membran pasca sinaptik. Reseptor ini terdapat pada korteks serebrum dan hipokampus. Reseptor ini mempunyai lokasi prasinaptik pada akso-aksonal dan akhiran saraf dan menyebabkan mekanisme terjadinya penghambatan prasinaptik. Reseptor GABAA dipacu oleh sejumlah senyawa mirip GABA termasuk muskimol (muscimol) dan antagonis kompetitif oleh bikukulin. Reseptor GABAB, sensitif terhadap agonis baklofen, akan tetapi tidak sensitif terhadap aksi blocking bikukulin. Stimulasi pada reseptor ini menyebabkan hiperpolarisasi juga, tetapi akibat perubahan konduksi kalium, dan prosesnya lebih lambat dibanding dengan yang terjadi pada GABAA. GABAB tidak berkaitan dengan saluran klorida. Reseptor GABAB mungkin berlokasi pada akhiran prasinaptik dimana influks kalsium kedalam akhiran saraf menjadi berkurang yang mengakibatkan penurunan pelepasan transmiter sinaptik apabila terdapat pacuan saraf prasinaptik. GABAB terdapat pada serebelum dan medula spinalis (Wibowo, 2001).
            Antikonvulsan adalah depresan sistem saraf pusat. Senyawa ini menekan atau mengurangi fungsi seperti koordinasi dan kewaspadaan. Depresi atau kegagalan berlebihan dapat terjadi jika antikonvulsan digunakan bersama depresan sistem saraf pusat lain. Akibatnya, mengantuk , pusing, kehilangan koordinasi motorik dan kewaspadaan mental, pada keadaan parah timbul kegagalan peredaran darah dan gangguan fungsi pernapasan, menyebabkan koma dan kematian. Dokter harus memantau pasien dengan teliti dan menyesuaikan dosis untuk mengurangi efek depresi yang berlebihan (Harkness, 1989).
            Tujuan pokok terapi epilepsi adalah membebaskan pasien dari babngkitan epilepsi, tanpa mengganggu fungsi normal SSP agar pasien dapat menunaikan tugasnya tanpa gangguan. Terapi dapat dijalankan dengan berbagai cara, dan sebaiknya dengan mempertahankan pedoman berikut: (1) melakukan pengobatan kausal kalau perlu dengan pembedahan, umpamanya pada tumor serebri, (2) menghindari faktor pencetus suatu bangkitan, umpamanya minum alkohol, emosi, kelelahan fisik maupun mental, dan (3) penggunaan antikonvulsi/antiepilepsi (Utama, 2007).
            Untuk mencapai hasil terapi yang optimal perlu diperhatikan hal berikut ini. Pengobatan awal harus dimulai dengan obat tunggal. Obat perlu dimulai dengan dosis kecil dan dinaikkan secera bertahap sampai efek terapi tercapai atau timbul efek samping yang tidak dapat ditoleransi lagi oleh pasien. Interval penyesuaian dosis tergantung dari obat yang digunakan. Sebelum penggunaan obat kedua sebagai pengganti, bila fasilitas laboratorium memungkinkan, sebaiknya kadar obat dalam plasma diukur. Bila obat telah melebihi kadar terapi sedangkan efek terapi belum tercapai atau efek toksik telah muncul maka penggunaan obat pengganti merupakan keharusan. Obat pertama harus diturunkan secara bertahap untuk menghindarkan status epileptikus. Bilamana dianggap perlu terapi kombinasi masih dibenarkan. Kegagalan terapi epilepsi paling sering disebabkan oleh ketidakpatuhan pasien (Utama, 2007).

Benzodiazepin
            Benzodiazepin merupakan obat-obat basa lemah dan diabsorpsi sangat efektif pada pH tinggi yang ditemukan didalam duodenum. Kecepatan absorpsi benzodiazepin yang diberikan per oral berbeda tergantung pada beberapa faktor termasuk sifat kelarutannya dalam lemak. Absorpsi per oral triazolam sangat cepat sekali dan juga diazepam dan metabolit aktif dari klorazepat lebih cepat diabsorpsi daripada benzodiazepin lain yang umum digunakan. Klorazepat dikonversi menjadi bentuk aktifnya, desmetildiazepam oleh hidrolisa asam di lambung. Oksazepam dan temazepam diabsorpsi lebih lambat daripada benzodiazepin lain. Bioavailabilitas dari beberapa benzodiazepin, termasuk klordiazepoksid dan diazepam, tidak dapat diandalkan setelah pemberian secara intramuskular. Barbiturat dan piperidinedion merupakan asam lemah dan umumnya sangat cepat diabsorpsi dari lambung ke dalam darah, begitu juga dari usus halus (Trevor, 1997).
            Metabolisme hati bertanggung jawab terhadap pembersihan atau eliminasi dari semua benzodiazepin. Pola dan kecepatan metabolisme tergantung pada masing-masing obat. Kebanyakan benzodiazepin mengalami fase oksidasi mikrosomal (reaksi fase I), termasuk N-dealkilasi dan hidroksilasi alifatik. Kemudian metabolitnya dikonyugasikan (reaksi fase II) oleh glukuroniltransferase ke dalam urin. Bagaimanapun, kebanyakan metabolit fase I benzodiazepin adalah aktif, dengan waktu paruh yang lebih lama dari obat induknya (Trevor, 1997).
            Pembentukan metabolit aktif mempunyai arti penelitian yang rumit pada farmakokinetik benzodiazepin pada manusia karena waktu paruh eliminasi dari obat induk hanya sedikit mempunyai hubungan terhadap lamanya efek farmakologi. Benzodiazepin yang obat induk atau metabolit aktifnya mempunyai waktu paruh panjang, lebih mungkin menimbulkan efek kumulatif dengan dosis ganda (Trevor, 1997).
            Benzodiazepin mempunyai efek sedative-tranquilizer. Sebagian besar benzodiazepin digunakan secara luas sebagai obat antiepilepsi, tetapi hanya klonazepam (clonazepam) dan klorazepat (clorazepate) yang digunakan di Amerika untuk terapi jangka panjang pada berbagai tipe bangkitan. Diazepam dan Lorazepam dipakai pada status epileptikus (Wibowo, 2001).
            Mekanisme aksi obat :
1.        Pada, hewan percobaan, pencegahan terhadap pentilentetrazol lebih menonjol daripada kemampuannya dalam mencegah bangkitan karena elektroshock maksimal,
2.        Menekan penyebaran aktifitas bangkitan yang berasal dari fokus epileptogenik pada korteks, talamus, dan limbik, tetapi tidak menghilangkan lepas muatan listrik abnormal dari fokus,
       Pada dosis rendah, benzodiazepin menekan aktivitas polisinaptik pada medulla dalam sistem retikuler mesensefalik,
3.        Benzodiazepam menaikkan potensi atau efektivitas neurotransmitter-inhibitor GABA.
Benzodiazepin menimbulkan inhibisi presinaptik dan postsinaptik (Wibowo, 2001).
            Kerja benzodiazepin terutama merupakan interaksinya dengan reseptor penghambat neurotransmiter yang diaktifkan oleh asam gamma amino butirat (GABA). Benzodiazepin berikatan langsung pada sisi spesifik (subunit g) reseptor GABA­A (reseptor kanal ion klorida kompleks), sedangkan GABA berikatan pada subunit α atau β. Pengikatan ini akan menyebabkan pembukaan kanal klorida, memungkinkan masuknya ion klorida ke dalam sel, menyebabkan peningkatan potensial elektrik sepanjang membran sel dan menyebabkan sel sukar tereksitasi (Sinta, 2007).




Diazepam
            Diazepam terutama digunakan untuk terapi konvulsi rekuren, misalnya status epileptikus. Obat ini juga bermanfaat untuk terapi bangkitan parsial sederhana misalnya bangkitan klonik fokal dan hipsaritmia yang refrakter terhadap terapi lazim. Diazepam efektif pada bangkitan lena karena menekan 3 gelombang paku dan ombak yang terjadi dalam satu detik (Utama, 2007).
            Di samping khasiat anksiolitis, relaksasi otot, dan hipnotiknya, senyawa benzodiazepin ini juga berdaya antikonvulsif. Berdasarkan khasiat ini, diazepam digunakan pada epilepsi dan dalam bentuk injeksi i.v. terhadap status epilepticus. Pada penggunaan oral dan dalam klisma (ractiole), resorpsinya baik dan cepat, tetapi lambat dan tidak sempurna dalam bentuk suppositoria. Kira-kira 97-99 % diikat pada protein plasma (Tjay, 2002).
            Di dalam hati, diazepam dibiotranformasi menjadi antara lain N-desmetildiazepam yang juga aktif dengan plasma-t1/2 panjang, antara 42-120 jam. Plasma-t1/2 diazepam sendiri hanya berkisar antara 20-54 jam. Toleransi dapat terjadi terhadap efek antikonvulsifnya, sama seperti terhadap efek hipnotiknya. Efek sampingnya adalah lazim bagi kelompok benzodiazepin, yakni mengantuk, termenung-menung, pusing, dan kelemahan otot (Tjay, 2002).
            Dosis diazepam yaitu 2-4 dd 2-10 mg dan i.v. 5-10 mg dengan perlahan-lahan (1-2 menit), bila perlu diulang setelah 30 menit, pada anak-anak 2-5 mg. Pada status epilepticus dewasa dan anak di atas usia 5 tahun 10 mg (rectiole), bayi dan anak-anak di bawah 5 tahun 5 mg sekali. Pada konvulsi karena demam, anak-anak 0,25-0,5 mg/kg BB (rectiole), bayi dan anak-anak di bawah 5 tahun 5 mg, setelah 5 tahun 10 mg (Tjay, 2002).

DIURETIKA


Pengertian Diuretik
Diuretik adalah zat-zat yang dapat memperbanyak pengeluaran kemih (diuresis) melalui kerja langsung terhadap ginjal. Obat-obat lainnya yang menstimulasi diuresis dengan memengaruhi ginjal secara tak langsung tidak termasuk dalam definisi ini, misalnya zat-zat yang memperkuat kontraksi jantung (digoxin dan teoflin), memperbesar volume darah (dekstran) atau merintangi sekresi ormon antidiuretik ADH (air, alkohol) (Tjay, T.H dan Rahardja, K. 2007)
Walaupun kerjanya pada ginjal, diuretika bukanlah obat ginjal, artinya senyawa ini tidak bisa memperbaiki atau menyembuhkan penyakit ginjal. Beberapa diuretika  pada awal pengobatan justru memperkecil ekskresi zat-zat penting urin engan mengurani laju filtrasi glomerulus sehingga akan memperburuk insufisiensi ginjal (Mutsler, E. 1986)
2.2       Efek Samping Diuretik dan Perhatian
Efek Samping dan Perhatian yang harus diperhatikan dari diuretik antara lain :
1.      Gangguan cairan dan elektrolit. Sebagian efek samping berkaitan dengan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, antara lain hipotensi, hiponetremia, hipokleremia, hipokalsemia dan hipomagnesemia. (Gunawan, 2007).
2.      Ototoksisitas. Asam etakrinat dapat menyebabkan ketulian sementara maupun menetap, dan hal ini merupakan efek samping yang serius. Ketulian sementara juga dapat terjadi pada furosemid dan lebih jarang pada bumetanid. Ketulian ini mungkin sekali disebakan oleh perubahan komposisi elektrolit cairan endolimfe. Ototoksitas merupakan suatu efek samping unik kelompok obat ini. (Gunawan, 2007).
3.      Hipotensi dapat terjadi akibat depelsi volume  sirkulasi. (Gunawan, 2007).
4.      Efek metabolik. Seperti diuretic tiazid, diuretic kuat juga dapat menimbulkan efek samping metabolic berupa hiperurisemia, hiperglikemua, peningkatan kolesterol LDL dan trigliserida, serta penurunan HDL (Gunawan, 2007).
5.      Reaksi alergi. Reaksi alergi umumnya berkaitan dengan struktur molekul yang menyerupai sulfonamide. Diuretic kuat dan diuretic tiazid dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat alergi sulfonamide. Asam etakrinat merupakan satu-satunya diuretic kuat yang tidak termasuk golongan sulfonamide, dan digunakan khususnya untuk pasien yang alergi terhadap sulfonamide. (Gunawan, 2007).
6.      Nefritis interstisialis alergik. Furosemid dan tiazid diduga dapat menyebabkan nefritis interstisialis alergik yang menyebabkan gagal ginjal reversibel. (Gunawan, 2007).
            Berdasarkan efeknya pada janin hewan coba, maka diuretic kuat ini tidak dianjurkan pada wanita hamil, kecuali bila mutlak diperlukan. (Gunawan, 2007).
2.3       Interaksi Diuretik
            Seperti diuretic tiazid, hipopkalemia akibat pemberian diuretic kuat dapat meningkatkan risiko aritmia pada pasien yang juga mendapat digitalis atau obat antiaritma (Gunawan, 2007).
            Pemberian bersama obat yang bersifat nefrotosik seperti aminoglikosida dan antikanker sisplatin akan meningkatkan risiko nefrotoksisitas (Gunawan, 2007).
            Probenesid mengurangi sekresi diuretik ke lumen tubulus sehingga efek diuresisnya berkurang (Gunawan, 2007).
            Diuretik kuat dapat berinteraksi dengan warfarin dan klofibrat melalui penggeseran ikatannya dengan protein. Pada penggunaan kronis, diuretic kuat ini dapat menurunkan klirens litium. Penggunaan bersama dengan sefalosporin dapat meningkatkan nefrotoksisitas sefalosporin. Antiinflamasi nonsteroid terutama indometasin dan kortikosteroid melawan kerja furosemid (Gunawan, 2007).
            Menurut Richard Harkness (1984), obat-obat berkhasiat diuretikamemiliki berbagai interaksi dengan senyawa lain, seperti berikut :
          - Diuretika dengan antidepresan (jenis IMAO)
            Dapat menyebabkan tekanan darah turun terlalu rendah
          - Diuretika dengan kaptopril                                           
            Dapat sangat munurunkan tekanan darah
          - Diuretika dengan kortikostroida
                        Dapat menyebabkan tubuh kehilangan banyak kalium dan menahan terlalu banyak natrium
          - Diuretika dengan obat diabetes
            Efek obat diabetes dilawan oleh diuretika
          - Diuretika dengan obat jantung digitalis
            Efeknya dapat merugikan jantung
          - Diuretika dengan litium
            Efek litium yakni antipsikotika dapat meningkat
          - Diuretika dengan NSAID’s
            Efek diuretika dapat berkurang
          - Diuretika dengan Prasozin
                        Diuretika dapat menyebabkanmeningkatnya efek merugikan dari dosis pertama prasozin (Harkness, R.1984)
2.4       Penggolongan diuretik
Sebagian besar diuretik bekerja dengan menurunkan reabsorpsi elektrolit oleh tubulus (atas). Ekskresi elektrolit yang meningkat diikuti oleh peningkatan ekskresi air, yang penting untuk mempertahankan keseimbangan osmotik. Direutik digunakan untuk mengurangi edema pada gagal jantung kongestif, beberapa penyakit ginjal, dan sirosis hepatitis. Beberapa diuretik, terutama tiazid, secara luas digunakan pada terai hipertensi, namun kerja hipotensif jangka panjangnya tidak hanya berhubungan dengan sifat deuretiknya (Neal,2006).
Tiazid dan senyawa yang berkaitan (kanan atas) bersifat aman, aktif secara oral, namun merupakan diuretik yang relatif lemah. Obat yang lebih efektif adalah high ceeling atau diuretik loop (kiri atas). Obat ini mempunyai awitan yang sangat kuat (sehingga diberi istilah ‘high ceelibg’) dan bisa menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit serta dehidrasi yang serius. Metolazon merupakan obat yang berkaitan dengan tiazid dan aktivitasnya berada di antara diuretik loop dan tiazid. Metolazon mempunyai efek sinergis yang kuat dengan furosemid, dan kombinasi tersebut bisa efektif pada edema yang resisten dan pada pasien dengan gagal ginjal yang serius. Tiazid dan diuretik loop meningkatkan ekskresi kalium, dan mungkin dibutuhkan suplemen kalium untuk mencegah hipokalemia (Neal,2006) .
Beberapa diuretik bersifat ‘hemat kalium’ (kanan bawah). Diuretik ini lemah bila digunakan tersendiri, namun menyebabkan retensi kalium, dan sering diberikan bersama tizaid atau diuretik loop untuk mencegah hipokalemia (Neal,2006).
Inhibitor karbonat anhidrase (kiri bawah) merupakan diuretik lemah dan jarang digunakan untuk diambil efek diuretiknya. Diuretik osmotik (misalnya manitol) merupakan senyawa yang difiltrasi, namun tidak direabsorpsi. Diuretik osmotik diekskresikan dalam jumlah osmotik yang sama dengan air dan digunakan pada edema serebri, dan kadang-kadang untuk mempertahankan diuresis selama pembedahan (Neal,2006) .
Ginjal merupakan salah satu unsur jalur utama untuk eliminasi obat, dan gangguan fungsi ginjal pada usia lanjut atau pada penyakit ginjal dapat menurunkan eliminasi obat secara signifikan (Neal,2006).
Aldosteron menstimulasi Na+  pada tubulus distal dan meningkatkan sekresi  K+ dan H+. Obat ini bekerja pada reseptor sitoplasmik (Bab 33) dan menginduksi  sintesis Na+  / K+  -ATPase pada membran basolateral dan kanal NA+ di membran lumen. Peningkatan permeabilitasnya kanal Na+ yang lebih cepat dapat diperantai oleh reseptor aldosteron di permukaan sel. Diuretik meningkatkan muatan Na+ pada tubulus distal dan kecuali untuk obat-obat hemat kalium, hal ini menyebabkan peningkatan sekresi (dan ekskresi) K+. Efek ini lebih hebat apabila kadar aldosteron plasma tinggi sebagai contoh, bila terapi diuretik yang kuat sudah mengurangi simpanan Na+ tubuh (Neal,2006).
Vasopresin (ADH) dilepaskan dari kelenjar hipofisis posterior. Obat ini meningkatkan jumlah kanal air pada duktus koligens sehingga memungkinkan reabsorpsi air secara pasif. Pada diabetes insipidus ‘kranial’ tidak adanya ADH menyebabkan ekskresi urin hipotonis dengan volume besar. Kelainan ini diterapi dengan vasopresin atau desmopresin, suatu analog kerja panjang (Neal,2006).
2.4.1        Inhibitor karbonat ahidrase
menurunkan reabsorpsi bikarbonat pada tubulus proksimal melalui inhibisi katalisis hidrasi CO2 dan reaksi dehidrasi. Oleh karena itu ekskresi HCO3- menyebabkan asidosis metabolik dan efek obat menjadi self-timming pada saat bikarbonat darah turun. Na+ yang meningkatkan yang dialirkan ke nefron distal meningkatkan sekresi K+. Asetazolamid digunakan pada terapi glaukoma untuk menurunkan tekanan intraokular, yang dicapai dengan mengurangi sekresi HCO3- dan H2O yang terkait ke dalam aqueous humuor (Bab 10). Asetazolamid juga digunakan sebagai profilaksis untuk mountain altitude sickness (Neal,2006).
Karbonik anhidrase adalah enzim yang mengkatalisis reaksi CO2 + H2O ↔ H2CO3. Enzim ini terdapat antara lain dalam sel korteks renalis pankreas, mukosa lambung, mata, eritrosit, dan SSP, tetapi tidak terdapat dalam plasma. Enzim ini dapat dihambat aktivitasnya oleh sianida, azida, dan sulfida. Derivat sulfonamid yang juga dapat menghambat kerja enzim ini adalah asetazolamid dan diklorofenamid. Asetazolamd mudah diserap melalui saluran cerna.obat ini mengalami proses sekresi aktif oleh tubuli dan sebagian direabsorbsi secara pasif. Asetazolamid terikat kuat pada karbonik anhidrase, sehingga terakumulasi dalam sel yang banyak mengandung enzim ini, terutama sel eritrosit dan korteks ginjal. Obat penghambat karbonik anhidrase tidak dapat masuk kedalam eritrosit, jadi efeknya hanya terbatas pada ginjal saja. Distribusi penghambat karbonik anhidrase dalam tubuh ditentukan oleh tidak adanya enzim karbonik anhidrase dalam sel yang bersangkutan dan dapat tidaknya obat itu masuk kedalam sel. Asetazolamid tidak dimetabolisme dan diekskresi dalam bentuk utuh melalui urin (Gunawan, 2007).
2.4.2        Tiazid
Tiazid terbentuk dari inhibitor karbonat anhidrase. Akan tetapi aktivitas diuretik obat ini tidak berhubungan dengan efeknya pada enzim. Tiazid digunakan secara luas pada terapi gagal jantung ringan dan hipertensi dimana telah terbukti bahwa obat tersebut menurunkan insidensi stroke. Terdapat banyak macam tiazid, namun satu-satunya perbedaan utama adalah durasi kerjanya. Yang paling banyak digunakan adalah bendroflumetiazid (Neal,2006).
Benzotiazid atau tiazid berefek langsung terhadap transpor Na+  dan Cl- di tubuli ginjal, lepas dari efek penghambatannya terhadap enzim karbonik anhidrase. Diuretik tiazid bekerja menghambat simporter Na+  dan Cl- di hulu tubulus distal. Sistem transpor ini dalam keadaan normal berfungsi membawa Na+  dan Cl- dari lumen kedalam sel epitel tubulus. Na+  selanjutnya dipompakan keluar tubulus dan ditukar dengan K+, sedangkan Cl- dikeluarkan melalui kanal klorida. Efek farmakodinamik tiazid yang utama adalah meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan sejumlah air (Gunawan,2007).
Mekanisme kerja
Tiazid bekerja terutama pada segmen awal tibulus distal, dimana tiazid menghambat reabsorpsi NaCl dengan terikat pada sinporter yang berperan untuk kotranspor Na+/Cl- elektronetral. Terjadi peningkatan ekskresi Cl-, Na+ dan disertai H2O. Beban Na+ yang meningkat dalam tubulus distal, menstimulasi pertukaran Na+ dengan K+ dan H+, meningkatkan sekresinya dan menyebabkan hipoklamia dan alkalosis metabolik (Neal,2006).
Efek Samping
Efek simpang termasuk kelemahan, impotensi, dan kadang-kadang ruam kulit. Reaksi alergi yang serius (misalnya trombositopenia) jarang terjadi. Yang lebih sering terjadi adalah efek metabolik seperti berikut :
1.      Hipokalemia bisa mempresipitasi aritmia jantung, terutama pada pasien yang mendapat digitalis. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian suplemen kalium bila dibutuhkan, atau terapi kombinasi dengan diuretik hemat kalium.
2.      Hiperurisemia. Kadar asam urat dalam darah seringkali meningkat karena tiazid disekresei oleh sistem sekresi asam organik dalam tubulus dan berkompetensi untuk sekresi asam urat. Keadaan ini dapat dipresipitasikan goul.
3.      Toleransi glukosa bisa terganggu dan tiazid adalah kontraindikasi pada pasien dengan diabetes tidak tergantung insulin.
4.      Lipid. Tiazid meningkatkan kadar kolesterol p;asma paling tidak selama 6 bulan pertama pemberian obat, tetapi signifikansinya tidak jelas.
(Neal,2006).
2.4.3        Diuretik loop
Diuretik loop(biasanya furosemid) diberikan secara oral dan digunakan untuk mengurangi edema perifier dan edema paru pada gagal jantung sedang sampai berat (Bab 18). Obat ini diberikan secara ventrikel akut. Tidak seperti tizaid, diuretik loop efektip pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal (Neal,2006).
Mekanisme kerja
Obat yang bekerja di loop menghambat  reabsorpsi NaCl dalam ansa Henle aendens segmen tebal. Segmen ini mempunyai kapasitas yang besar untuj mengabsorpsi NaCl sehingg obat yang bekerja pada tempat ini menyebabkan diuresis yang lebih hebat daripada diuretik lain. Diuretik loop bekerja pada membran lumen dengan cara menghambat kotranspor Na+/K+/2Cl-. (Na+ secara aktif ditranspor keluar sel ke alam interstisium oleh pompa yang tergantung pada Na+/K+ -ATPse di membran basolateral). Spesifikasitas diuretik loop disebabkan oleh konsenstrasi lokalnya yang tinggi dalam tubulus ginjal. Akan tetapi, pada dosis tingggi, obat ini bisa menginduksi perubahan komposisi elektrolit dalam endolimfe dan menyebabkan ketulian (Neal,2006).
Efek Samping
Obat yang bekerja di loop dapat menyebabkan hiponatremia, hipotensi, hipovolemia, hipokalemia. Kehilangan kalium, seperti denagn pemberian tizaid, secara klinis seringkali tidak penting kecuali bila terdapat faktor resiko tambahan untuk aritma (miaslnya terapi dengan digoksin). Ekskresi kalsium dan magnetsium meningkat dan dapat terjadi hipomagnesemia. Penggunaan diuretik loop yang berlebihan (dosis tinggi, pemberian secara intravena)bisa menyebabkan ketulian, tyang tidak dapat pulih kembali (Neal,2006).
2.4.4        Diuretik hemat kalium
Diuretik ini bekerja pada segmen yang berespon terhadapa aldosteron pada nefron distal, dimana homeositas K+ dikendalikan. Aldosteron menstimulasi reabsorpsi Na+, membangkitakan potensial negatif dalam lumen, yang mengarahkan ion K+ dan H+ ke dalam lumen (dan kemudian ekskresinya). Diuretik hemat kaium menurunkan reabsorpsi Na+ dengan mengantagonis aldosteron (spironolakton) atau memblok kanal Na+ (amilorid, triamteren). Hal ini menyebabkan potensial listrik epitel tubulus menurun, sehingga gaya untuk sekresi K+ berkurang. Obat ini dapat menyebabkanhiperkalemia berat, terutama pada pasien dengan gangguan ginjal. Hiperkalemia juga mungkin terjadi bila pasien juga mengkonsumsi inhibitor ACE (misalnya kaptopril), karena obat ini menurunkan sekresi aldosteron (dan selanjutnya ekskresi K+) (Neal,2006).
Sprinoloakton secara kompetitif memblok ikatab aldosteron pada reseptor sitoplasma sehinga meningkatkan ekskresi Na+ (Cl- dan H2O) dan menurunkan sekresi K+ yang diperkuat oleh listrik. Sprinolakton merupakan diuretik lemah, karena hanya 2% dari reabsorpsi Na+ total yang berada di bawah kendali aldosteron. Sprinolakton terutama digunakan pada penyakit hati dengan asites, sindrom Conn (hiperaldosteronisme primer), dan gagal jantung berat (Neal,2006).
Amilorid dan triamteren menurunkan permeabilitas  membran lumen terhadap Na+ pada distal nefron dengan mengisi kanal Na+ dan menghambatnya dengan perbandingan 1:1. Hal ini meningkatkan ekskresi Na+ (Cl- dan H2O) dan menurunkan ekskresi K+ (Neal,2006).
Yang tergolong dalam kelompok ini adalah antagonis aldosteron, triamteren dan amilorid. Efek diuretiknya tidak sekuat golongan diuretik kuat.
·         Antagonis aldosteron
Aldosteron adalah mineralokortikoid endogen yang paling kuat. Peranan utama aldosteron adalah memperbesar reabsorbsi natrium dan klorida di tubuli distal serta memperbesar ekskresi kalium. Jadi hiperaldosteronisme akan terjadi penurunan kadar kalium dan alkalosis metabolik karena reabsorbsi HCO3- dan sekresi H+ yang bertambah. Mekanisme kerja antagonis aldosteron adalah penghambatan kompetitif terhadap aldosteron. Ini terbukti dari kenyataan bahwa obat ini hanya efektif bila terdapat aldosteron baik endogen maupun eksogen dalam tubuh dan efeknya dapat dihilangkan dengan meninggikan kadar aldosteron. Jadi dengan pemberian antagonis aldosteron, reabsorbsi Na+ dan K+ di hilir tubuli distal dikurangi, dengan demikian ekskresi K+ juga bekurang. Saat ini ada 2 macam antagonis aldosteron, yaitu spironolakton dan eplerenon.
(Gunawan,2007)
·         Triamteren dan amilorid
Kedua obat ini terutama memperbesar ekskresi natrium dan klorida, sedangkan ekskresi kalium berkurang dan ekskresi bikarbonat tidak mengalami perubahan. Triamteren menurunkan ekskresi K+ dengan menghambat seksresi kalium disel tubuli distal. Berkurangnya reabsorbsi Na+ ditempat tersebut mengakibatkan turunnya perbedaan potensial listrik transtubular, sedangkan adanya perbedaan ini diperlukan untuk berlangsungnya proses kalium oleh sel tubuli distal.    (Gunawan,2007)
2.5 Furosemid
Furosemida merupakan diuretika golongan sulfonamida dengan nama kimia asam-4-kloro-N furfuril-5-sulfamoil antranilat. Rumus molekulnya adalah C12H11ClN2O5S, berat molekul 330,74. Furosemida berbentuk kristal, warna putih sampai putih kekuningan dan tidak berbau dengan harga pKa 3,9. Furosemida praktis tidak larut dalam air; mudah larut dalam aseton, dalam dimetilforfamida dan dalam larutan alkali hidroksida; larut dalam metanol; agak sukar larut dalam etanol; sukar larut dalam eter; sangat sukar larut dalam kloroform (Anonim,1979).
Furosemida merupakan diuretik kuat. Tempat kerja utamanya di bagian cabang menaik yang tebal dari jerat Henle, karena itu disebut sebagai loop diuretik. Mekanisme kerja dari senyawa ini adalah memblok pembawa Na+, K+, Cl- dari tepi lumen dan dengan cara ini menghambat absorpsi ion natrium, kalium dan klorida dalam cabang tebal jerat Henle menaik. Sifat khas dari senyawa ini adalah kerjanya yang singkat akan tetapi sangat intensif sehingga sangat bermanfaat jika diperlukan kerja diuretik yang cepat dan intensif (Syukri,2004).

2.6 Diuretik Menjadi Pertimbangan lain dalam Pemilihan obat Antihipertensi
2.6.1 Efek Yang Berpotensi Menguntungkan
• Diuretik tipe thiazide berguna untuk memperlambat demineralisasi pada osteoporosis.
• β-blocker dapat berguna untuk pengobatan atrial takhiaritmia/fibrilasi, migraine,tirotoksikosis (jangka pendek), atau tremor esensial. 
• Kalsium antagonis dapat berguna juga untuk pengobatan sindroma Raynaud dan aritmia tertentu
• α-blocker dapat berguna untuk gangguan prostat
(Anonim,2006)
2.6.2 Efek Yang Berpotensi Tidak Menguntungkan
• Diuretik tipe thiazide harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan diagnosa pirai atau yang mempunyai sejarah medis hiponatremia yang bermakna.
• Hindari penggunaan penyekat  β pada pasien asma,  reactive airway disease, atau second or third degree heart block
• ACEI dan ARB tidak boleh diberikan kepada perempuan punya rencana hamil dan kontraindikasi pada perempuan hamil. ACEI tidak boleh diberikan pada pasien dengan riwayat angioedema. Antagonis aldosteron dan diuretic penahan kalium dapat menyebabkan hiperkalemia, sehingga jangan diberikan kepada pasien dengan kalium serum >5.0 mEq/L (tanpa minum obat apa-apa) Diuretik, terutama golongan tiazid, adalah obat lini pertama untuk kebanyakan pasien dengan hipertensi(Ditjen Farmasi, 2006).
Bila terapi kombinasi diperlukan untuk mengontrol tekanan darah, diuretik salah satu obat yang direkomendasikan. Empat subkelas diuretik digunakan untuk mengobati hipertensi: tiazid, loop, agen penahan kalium, dan antagonis aldosteron. Diuretik penahan kalium adalah obat antihipertensi yang lemah bila digunakan sendiri tetapi memberikan efek aditif bila dikombinasi dengan golongan tiazid atau loop. Selanjutnya diuretik ini dapat menggantikan kalium dan magnesium yang hilang akibat pemakaian diuretik lain. Antagonis aldosteron (spironolakton) dapat dianggap lebih poten dengan mula kerja yang lambat (s/d 6 minggu untuk spironolakton). Tetapi, JNC 7 melihatnya sebagai kelas yang independen karena bukti mendukung indikasi khusus. Pada pasien dengan fungsi ginjal cukup (± GFR> 30 ml/menit), tiazid paling efektif untuk menurunkan tekanan darah(Ditjen Farmasi, 2006).
Bila fungsi ginjal berkurang, diuretik yang lebih kuat diperlukan untuk mengatasi peningkatan retensi sodium dan air. Furosemid 2x/hari dapat digunakan. Jadwal minum diuretik harus pagi hari untuk yang 1x/hari, pagi dan sore untuk yang 2x/hari untuk meminimalkan diuresis pada malam hari. Dengan penggunaan secara kronis, diuretik tiazide, diuretik penahan kalium, dan antagonis aldosteron jarang menyebabkan diuresis yang nyata. Perbedaan farmakokinetik yang penting dalam golongan tiazid adalah waktu paruh dan lama efek diuretiknya. Hubungan perbedaan ini secara klinis tidak diketahui karena waktu paruh dari kebanyakan obat antihipertensi tidak berhubungan dengan lama kerja hipotensinya. Lagi pula, diuretik dapat menurunkan tekanan darah terutama dengan mekanisme extrarenal.  Diuretik sangat efektif menurunkan tekanan darah bila dikombinasi dengan kebanyakan obat antihipertensif lain. Kebanyakan obat antihipertensi menimbulkan retensi natrium dan air; masalah ini diatasi dengan pemberian diuretik bersamaan. Efek samping diuretik tiazid termasuk hipokalemia, hipomagnesia, hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperglisemia, hiperlipidemia, dan disfungsi seksual. Diuretik loop dapat menyebabkan efek samping yang sama, walau efek pada lemak serum dan glukosa tidak begitu bermakna, dan kadang-kadang dapat terjadi hipokalsemia(Ditjen Farmasi, 2006).
Studi jangka pendek menunjukkan kalau indapamide tidak mempengaruhi lemak atau glukosa atau disfungsi seksual.  Semua efek samping diatas berhubungan dengan dosis. Kebanyakan efek samping ini teridentifikasi dengan pemberian tiazid dosis tinggi (misalnya HCT 100mg/hari). Guideline sekarang menyarankan dosis HCT atau klortalidone 12.5 – 25 mg/hari, dimana efek samping metabolik akan sangat berkurang (Ditjen Farmasi,2006).
Diuretik penahan kalium dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama pada pasien dengan penyakit ginjal kronis atau diabetes dan pada pasien yang menerima ACEI, ARB, NSAID, atau supplemen kalium. Hiperkalemia sangat bermasalah terutama dengan eplerenone, antagonis aldosteron yang terbaru (Ditjen Farmasi, 2006).
Diuretik bermanfaat dalam pengobatan berbagai penyakit yang berhubungan dengan retensi abnormal garam dan air dalam kompartamin ekstraseluler tubuh, biasanya dirujuk sebagai edeme, pada umumnya, diuretic merupakan zat yang meningkatkan laju ekstrasi urin oleh ginjal, terutama melalui penurunan reabsorpsi subular. Ion natrium dan airnya dalam tubulus ginjal yang setara secara osmetik. Penimbunan cairan berlebih dalam kompartemen akstraseluler  dapat disebabkan oleh kegagalan jantung, sirosis hati, gangguan ginjal, toksemia kehamilan atau akibat sampingan obat (Ditjen Farmasi, 2006).
Fungsi utama ginjal adalah memelihara kemurnian darah dengan jalan mengeluarkan semua zat asing dan sisa pertukaran zat dari dalam darah. Untuk ini, darah mengalami filtrasi, dimana semua komponennya melintasi saringan ginjal kecuali zat putih telur dan sel – sel darah. Setiap ginjal mengandung lebih kurang satu juta filter kecil (glomeruli), dan setiap 50 menit seluruh darah tubuh (ca 5 liter) sudah ‘dimurnikan’ dengan melewati saringan tersebut
Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel kembali menjadi normal. Pengaruh diuretik terhadap ekskresi zat terlarut penting artinya untuk menentukan tempat kerja diuretik dan sekaligus untuk menormalkan akibat suatu diuretik. Secara umum diuretic dapat dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu (1) diuretic osmotic ; (2)penghambat mekanisme transport elektrolit d dalam tubuli ginjal. Pengaruh diuretik terhadap ekskresi zat terlarut penting artinya untuk menentukan tempat kerja diuretik dan sekaligus untuk meramalkan akibat penggunaan suatu diuretik (Ditjen Farmasi, 2006).
hiperkalemia melebihi diuretik penahan kalium lainnya, bahkan spironolakton. Eplerenone dikontraindikasikan untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau diabetes tipe 2 dengan proteinuria. Kalau spironolakton menyebabkan gynecomastia pada  ±10% pasien, dengan eplerenon gynecomastia jarang terjadi