Friday 19 October 2012

Parasetamol, Sifat,mekanisme dan toksisitas


PARASETAMOL

sumber gambar .wikipedia.org



SIFAT
Parasetamol adalah drivat p-aminofenol yang mempunyai sifat antipiretik / analgesik. Paracetamol utamanya digunakan untuk menurunkan panas badan yang disebabkan oleh karena infeksi atau sebab yang lainnya. Disamping itu, paracetamol juga dapat digunakan untuk meringankan gejala nyeri dengan intensitas ringan sampai sedang. Ia aman dalam dosis standar, tetapi karena mudah didapati, overdosis obat baik sengaja atau tidak sengaja sering terjadi.
Obat yang mempunyai nama generik acetaminophen ini, dijual di pasaran dengan ratusan nama dagang. Beberapa diantaranya adalah Sanmol, Pamol, Fasidol, Panadol, Itramol dan lain lain.
Sifat antipiretiknya disebabkan oleh gugus aminobenzen dan mekanismenya diduga berdasarkan efek sentral. Parasetamol memiliki sebuah cincin benzena, tersubstitusi oleh satu gugus hidroksil dan atom nitrogen dari gugus amida pada posisi para (1,4). Senyawa ini dapat disintesis dari senyawa asal fenol yang dinitrasikan menggunakan asam sulfat dan natrium nitrat. Parasetamol dapat pula terbentuk apabila senyawa 4-aminofenol direaksikan dengan senyawa asetat anhidrat.
Sifat analgesik Parasetamol dapat menghilangkan rasa nyeri ringan sampai sedang. Dalam golongan obat analgetik, parasetamol memiliki khasiat sama seperti aspirin atau obat-obat non steroid antiinflamatory drug (NSAID) lainnya. Seperti aspirin, parasetamol berefek menghambat prostaglandin (mediator nyeri) di otak tetapi sedikit aktivitasnya sebagai penghambat postaglandin perifer. Namun, tak seperti obat-obat NSAIDs.
               Parasetamol termasuk ke dalam kategori NSAID sebagai obat anti demam, anti pegel linu dan anti-inflammatory. Inflammation adalah kondisi pada darah pada saat luka pada bagian tubuh (luar atau dalam) terinfeksi, sebuah imun yang bekerja pada darah putih (leukosit). Contoh pada bagian luar tubuh jika kita terluka hingga timbul nanah itu tandanya leukosit sedang bekerja, gejala inflammation lainnya adalah iritasi kulit.
Sifat antiinflamasinya sangat rendah sehingga tidak digunakan sebagai antirematik. Pada penggunaan per oral Parasetamol diserap dengan cepat melalui saluran cerna. Kadar maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu 30 menit sampai 60 menit setelah pemberian. Parasetamol diekskresikan melalui ginjal, kurang dari 5% tanpa mengalami perubahan dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi.
Karena Parasetamol memiliki aktivitas antiinflamasi (antiradang) rendah, sehingga tidak menyebabkan gangguan saluran cerna maupun efek kardiorenal yang tidak menguntungkan. Karenanya cukup aman digunakan pada semua golongan usia.
METABOLISME
Parasetamol berikatan dengan sulfat dan glukuronida terjadi di hati. Metabolisme utamanya meliputi senyawa sulfat yang tidak aktif dan konjugat glukoronida yang dikeluarkan lewat ginjal. Sedangkan sebagian kecil, dimetabolismekan dengan bantuan enzim sitokrom P450. Hanya sedikit jumlah parasetamol yang bertanggung jawab terhadap efek toksik (racun) yang diakibatkan oleh metabolit NAPQI (N-asetil-p- benzo-kuinon imina). Bila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis normal, metabolit toksik NAPQI ini segera didetoksifikasi menjadi konjugat yang tidak toksik dan segera dikeluarkan melalui ginjal. Perlu diketahui bahwa sebagian kecil dimetabolisme cytochrome P450 (CYP) atau N-acetyl-p-benzo-quinone-imine (NAPQI) bereaksi dengan sulfidril.
Namun apabila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis tinggi, konsentrasi metabolit beracun ini menjadi jenuh sehingga menyebabkan kerusakan hati. Pada dosis normal bereaksi dengan sulfhidril pada glutation metabolit non-toxic diekskresi oleh ginjal.
 MEKANISME
 MEKANISME KERJA
Selama bertahun-tahun digunakan, informasi tentang cara kerja parasetamol dalam tubuh belum sepenuhnya diketahui dengan jelas hingga pada tahun 2006 dipublikasikan dalam salah satu jurnal Bertolini A, et. al dengan topik Parasetamaol : New Vistas of An Old Drug, mengenai aksi pereda nyeri dari parasetamol ini.
Mekanisme kerja yang sebenarnya dari parasetamol masih menjadi bahan perdebatan. Parasetamol menghambat produksi prostaglandin (senyawa penyebab inflamasi), namun parasetamol hanya sedikit memiliki khasiat anti inflamasi. Telah dibuktikan bahwa parasetamol mampu mengurangi bentuk teroksidasi enzim siklooksigenase (COX), sehingga menghambatnya untuk membentuk senyawa penyebab inflamasi. Paracetamol juga bekerja pada pusat pengaturan suhu pada otak. Tetapi mekanisme secara spesifik belum diketahui.
Ternyata di dalam tubuh efek analgetik dari parasetamol diperantarai oleh aktivitas tak langsung reseptor canabinoid CB1. Di dalam otak dan sumsum tulang belakang, parasetamol mengalami reaksi deasetilasi dengan asam arachidonat membentuk N-arachidonoylfenolamin, komponen yang dikenal sebagai zat endogenous cababinoid.
Adanya N-arachidonoylfenolamin ini meningkatkan kadar canabinoid endogen dalam tubuh, disamping juga menghambat enzim siklooksigenase yang memproduksi prostaglandin dalam otak. Karena efek canabino-mimetik inilah terkadang parasetamol digunakan secara berlebihan.
Sebagaimana diketahui bahwa enzim siklooksigenase ini berperan pada metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin H2, suatu molekul yang tidak stabil, yang dapat berubah menjadi berbagai senyawa pro-inflamasi.
Kemungkinan lain mekanisme kerja parasetamol ialah bahwa parasetamol menghambat enzim siklooksigenase seperti halnya aspirin mengurangi produksi prostaglandin, yang berperan dalam proses nyeri dan demam sehingga meningkatkan ambang nyeri, namun hal tersebut terjadi pada kondisi inflamasi, dimana terdapat konsentrasi peroksida yang tinggi. Pada kondisi ini oksidasi parasetamol juga tinggi, sehingga menghambat aksi anti inflamasi. Hal ini menyebabkan parasetamol tidak memiliki khasiat langsung pada tempat inflamasi, namun malah bekerja di sistem syaraf pusat untuk menurunkan temperatur tubuh, dimana kondisinya tidak oksidatif.
MEKANISME REAKSI
Paracetamol bekerja dengan mengurangi produksi prostaglandins dengan mengganggu enzim cyclooksigenase (COX). Parasetamol menghambat kerja COX pada sistem syaraf pusat yang tidak efektif dan sel edothelial dan bukan pada sel kekebalan dengan peroksida tinggi. Kemampuan menghambat kerja enzim COX yang dihasilkan otak inilah yang membuat paracetamol dapat mengurangi rasa sakit kepala dan dapat menurunkan demam tanpa menyebabkan efek samping,tidak seperti analgesik-analgesik lainnya
MEKANISME TOKSISITAS
  • Sulfat dan glukuronida pada liver tersaturasi
  • paracetamol lebih banyak ke CYP -> NAPQI bertambah -> suplai glutation tidak mencukupi
  • NAPQI bereaksi dengan membran sel
  • Hepatosit rusak -> nekrosis
 RESORPSI
            Resorpsi dari usus cepat dan praktis tuntas, secara rektal lebih lambat. PP-nya ca 25%, plasma t1/2-nya 1-4 jam. Antara kadar plasma dan efeknya tidak ada hubungan. Dalam hati zat ini diuraikan menjadi metabolit-metabolit toksis yang diekskresi dengan kemih sebagai konyugat-glukuronida dan sulfat.
 BAHAYA PARASETAMOL
Dalam dosis normal, parasetamol tidak menyakiti permukaan dalam perut atau mengganggu gumpalan darah, ginjal atau duktus arteriosus pada janin. Parasetamol relatif aman digunakan, namun pada dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan hati. Risiko kerusakan hati ini diperparah apabila pasien juga meminum alkohol.
Setelah berpuluh tahun digunakan, parasetamol terbukti sebagai obat yang aman dan efektif. Tetapi, jika diminum dalam dosis berlebihan (overdosis), parasetamol dapat menimbulkan kematian. Parasetamol dapat dijumpai di dalam berbagai macam obat, baik sebagai bentuk tunggal atau berkombinasi dengan obat lain, seperti misalnya obat flu dan batuk. Antidotum overdosis parasetamol adalah N-asetilsistein (N-acetylcysteine, NAC). Antidotum ini efektif jika diberikan dalam 8 jam setelah mengkonsumsi parasetamol dalam jumlah besar. NAC juga dapat mencegah kerusakan hati jika diberikan lebih dini
Hal yang jarang terjadi, antara lain reaksi hipersensitifitas dan kelainan darah. Pada penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis di atas 6 g mengakibatkan nekrose hati yang reversible. Hepatotoksisitas ini disebabkan oleh metabolit-metabolitnya, yang pada dosis normal dapat ditangkal oleh glutation (suatu tripeptida dengan –SH). Pada dosis diatas 10 g, persediaan peptida tersebut habis dan metabolit-metabolit mengikat pada protein dengan –SH di sel-sel hati, dan terjadilah kerusakan irreversible. Parasetamol dengan dosis diatas 20 g sudah berefek fatal. Over dosis bisa menimbulkan antara lain mual, muntah, dan anorexia. Penanggulanganya dengan cuci lambung, juga perlu diberikan zat-zat penawar (asam amino N-asetilsisten atau metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi (Tjay dan Rahardja, 2002) Wanita hamil dapat menggunakan parasetamol dengan aman, juga selama laktasi walaupun mencapai air susu ibu 
Efek Racun dan Akibat pada Pasien Anak
            Penggunaan paracetamol terus menerus dapat menyebabkan overdosis dan keracunan. Overdosis yang tak dapat penanganan cepat dapat menyebabkan kegagalan liver dan kematian. Kematian akibat overdosis paracetamol jarang terjadi pada anak-anak. Penggunaan parasetamol berbahaya pada seseorang yang memiliki kelainan hati, terutama konsumen alkohol.
Jangan meminum parasetamol selama lebih dari 10 hari berturut turut tanpa berkonsultasi dengan dokter. Obat ini juga jangan sembarangan diberikan pada anak dibawah 3 tahun tanpa terlebih dahulu meminta saran dari dokter
Segera ke dokter bila salah satu dari tanda berikut muncul setelah anda minum paracetamol. Tanda tanda itu antara lain : terjadi perdarahan ringan sampai berat, keluhan demam dan nyeri tenggorokan tidak berkurang yang kemungkinan disebabkan oleh karena infeksi sehingga perlu penanganan lebih lanjut.
Bila karena suatu sebab yang tidak jelas pasien bandel minum obat ini melebih dosis maksimum tadi maka akan terjadi kerusakan hati yang fatal. Gejala kerusakan hati yang perlu mendapatkan perhatian dan harus segera ke dokter antara lain : mual sampai muntah, kulit dan mata berwarna kekuningan, warna air seni yang pekat seperti teh, nyeri di perut kanan atas, dan rasa lelah dan lemas.
Beberapa reaksi alergi yang dilaporkan sering muncul antara lain : kemerahan pada kulit, gatal, bengkak, dan kesulitan bernafas/sesak. Seperti biasa, bila mengalami tanda tanda diatas setelah minum paracetamol, segera ke dokter untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.
Parasetamol sebernarnya jarang memberi efek samping yang serius apabila digunakan sesuai dengan petunjuk. Beberapa isu yang menyebutkan bahwa obat ini terkait dengan asma pada anak-anak juga belum terbukti secara klinis. Hanya kadang obat ini bisa menimbulkan ruam atau gatal-gatal pada beberapa orang tertentu. Penggunaan yang berlebihan dan dalam jangka panjang perlu diwaspadai karena bisa memicu kerusakan hati. Perlu diperhatikan juga beberapa tanda overdosis dari parasetamol misalnya jika terdapat gejala mual, muntah, lemas dan keringat berlebih.
Jangan terlalu sering memberikan parasetamol pada anak. Penelitian pada tahun 2008 membuktikan bahwa pemberian parasetamol pada usia bayi dapat meningkatkan risiko terjadinya asma pada usia kanak-kanak.
Penggunaan paracetamol secara berlebihan atau sering, bisa menimbulkan efek samping bagi si kecil dikemudian hari. Seperti yang ditulis di jurnal Lancet, dua penelitian telah menemukan bahwa penggunaan paracetamol dalam intensitas yang cukup sering, dapat meningkatkan risiko anak terkena asma dan eksim ketika mereka berusia 6 atau 7 tahun.


                    Pada penelitian yang pertama, para peneliti menemukan, dari 205.000 anak, yang menggunakan paracetamol di tahun pertama kehidupan mereka ternyata meningkatkan risiko terkena asma pada usia 6 atau 7 tahun sebesar 46 persen, dibandingkan mereka yang tidak mengonsumsinya
Lalu, sebatas apa paracetamol boleh digunakan? Menurut peneliti, penggunaan paracetamol satu kali sebulan atau lebih dengan dosis tingi, mampu meningkatkan risiko asma sebanyak tiga kali. Penggunaan paracetamol yang dinilai cukup (medium) didefinisikan sebagai penggunaan sebanyak satu kali setahun atau lebih, tetapi kurang dari satu kali sebulan.
                  Satu teori yang dikemukakan oleh para peneliti mengenai hubungan antara paracetamol dengan asma adalah antioksidan. Paracetamol mampu mengurangi kadar antioksidan dalam tubuh. Padahal, antioksidan sangat dibutuhkan tubuh untuk melawan radikal bebas yang masuk ke tubuh kita dan mencegah kerusakan.
                 Sama halnya pada asma. Penggunaan parasetamol dapat melipat gandakan risiko eksim, bersin yang terus-menerus, bunyi napas sengau, dan sakit tenggorokan, ketika anak berusia 6 atau 7 tahun.
                 Oleh sebab itu, para peneliti sangat mendukung pedoman yang diberikan oleh WHO, yang merekomendasikan paracetamol tidak boleh digunakan secara rutin. Sebaiknya paracetamol hanya digunakan untuk anak-anak yang mengalami demam tinggi (38,5 derajat Celcius atau lebih).
Efek Lainnya
a.      Parasetamol Dapat Merusak Paru-Paru
Parasetamol memang sangat manjur untuk menghilangkan rasa sakit kepala, pusing atau demam. Tapi, dibalik keampuhannya tersebut, ternyata menyimpan bahaya yang cukup besar yakni dapat menurunkan fungsi paru-paru.
Meski demikian, jangan gunakan obat ini secara rutin. Apalagi bagi penderita penyakit asma dan penyakit paru obstruktif menahun atau chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Karena, bila obat ini digunakan setiap hari, dapat menyebabkan penurunan fungsi paru-paru. Hasil ini berdasarkan data survei yang dikumpulkan oleh 'Third National Health and Nutrition Examination Survey' dari tahun 1988-1994 pada sekitar 13.500 orang dewasa di Amerika Serikat. Mereka semua memberikan informasi akan obat yang dipakai yaitu Aspirin Parasetamol dan Ibuprofen.
Dari data survey ini terlihat bahwa mereka yang menggunakan obat Parasetamol, mengalami resiko untuk menderita Asma dan COPD yang lebih tinggi. Dan pada penggunaan Parasetamol rutin setiap hari atau penggunaan lebih besar, dihubungkan dengan terjadi penurunan dari fungsi paru. Sedang pada obat Aspirin dan Ibuprofen, tidak terlihat adanya gangguan dari paru.
Penelitian yang dilakukan pada hewan, dosis tinggi dari Parasetamol akan menurunkan kadar dari salah satu antioksidan yang penting, yaitu Glutathion, yang ada pada jaringan paru. Jadi, kemungkinan gangguan paru yang terjadi akibat pemakaian rutin Parasetamol disebabkan karena terjadi penurunan Glutathion, yang menyebabkan peningkatan resiko dari kerusakan jaringan paru dan peningkatan dari penyakit pernafasan. Penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya, yang menyatakan bahwa penggunaan Parasetamol dapat meningkatkan resiko yang berat bagi penderita asma.
Bahaya Parasetamol atau yang disebut juga Asetaminofen, ternyata tidak hanya menyerang paru-paru saja, termasuk juga ginjal bila digunakan dalam waktu yang lama. Kebiasaan menggunakan Parasetamol, terutama bagi kaum wanita untuk menghilangkan nyeri seperti pada saat haid, dinilai sangat membahayakan. Penelitian ini dilakukan terhadap 1.700 wanita yang diteliti selama lebih dari 11 tahun, yang mengalami penurunan fungsi filtrasi ginjal sebesar 30 persen. Dari penelitian terlihat bahwa wanita yang mengkonsumsi Parasetamol sebanyak 1.500 - 9.000 butir selama hidupnya, berisiko untuk mengalami gangguan ginjal sebesar 64 persen.
Sedangkan untuk mereka yang mengkonsumsi lebih dari 9.000 tablet, risiko ini meningkat hingga dua kali lipat. Tapi penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan antara gangguan fungsi ginjal dengan Aspirin atau obat pereda nyeri/inflamasi lainnya seperti golongan anti inflamasi non-steroid. Penelitian ini bukan untuk menghentikan penggunaan Parasetamol. Tapi untuk berhati-hati dalam menggunakannya untuk jangka panjang. Selain itu bagi para peneliti, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan pengobatan lain dalam mengatasi rasa nyeri, yang tidak berbahaya bila digunakan untuk waktu yang lama.
Berbeda dengan obat analgesik yang lain seperti aspirin dan ibuprofen, parasetamol tak memiliki sifat antiradang. Jadi parasetamol tidak tergolong dalam obat jenis NSAID.
b.       Penggunaan Paracetamol efek terhadap urine
         Parasetamol (asetaminofen) dalam dosis terapeutik normal umumnya dianggap sebagai salah satu minor analgesic yang paling aman , walupun garus diperhatikan bahwa kelebihan dosis parasetamol dapat mengakibatkan nekrosis hati pada manusia dan hewan lain. Setelah pemberian parasetamol dieliminasi dari tubuh oleh proses- proses metabolisme orde 1 yang nyata dandalam jumlah kecil metabolism utamanya pada manusia adalah sebagai konjugat glukuronida dan konjugat sulfat.

                Eliminasi parasetamol bias dirasionalkan secra matematik menurut metode Cumming et al (1967). Dengan menggunakan pendekatan dini, terbukti bahwa plt log laju ekskresi obat “total” akhirnya akan menjadi garis lurus dengan kemiringan sama dengan :
-K/ 2,303

Dimana k adalah konstanta laju eliariminasi . jadi dalam percobaan ini log laju ekskresi dari obat total(mg/jam) diplot pada titik tengah dari masing – masing interval waktu pengumpulan urine. Konstanta laju eliminasi ditaksir dari kemiringan plot di atas dan waktu paruh t1/2 dari parasetamol dapat dihitung :
T1/2  = 0,693 / ke
a)      Subjek manusia
Dalam individu normal yang sehat  dosis parasetamol yang digunakan dalam percobaan ini tanpa efek samping sama sekali .tetapi harus ditekankan bahwa obat ini tidak boleh dimakan oleh orang yang;
1)      Mempuyai sejarah penyakit ginjal/ hati tipe apapun
2)      Mempunyai kebiasaan makan parasetamol
3)      Menunjukkan aksi alergis / hipersensitifitas terhadap obat ini
4)      Sedang dalam pengobatan dengan obat lain
5)      Umumnya tidak sehat
  Pemberian parasetamol dan pengumpulan urine
1)untuk menjaga aliran urine yang lyak, subjek harus minum 200ml air. Setelah 30 menit , kandung kemih haru di kosongkan dan dimsukkan dalam wadah yang sesuai ; sampel ini menunjukan  urine blanko.
2)Parasetamol 500mg diminum dengan 200ml air dan waktu mulai di catat ; ini adalah waktu nol
3)setelah 1 jam sampel urine diukur diberi catatan dan diberi air 100ml
4)Prosedur yang sama seperti nomor 3 diulang setiap jam selama 2jam, 3jam,4jam,5jam,6jam
5)Total urine di ukur 
    Metode Analitik
Sampel urine akan dianalisa “total parasetamolnya” dengan menambahkan asam kedalam sampel urine. Parasetamol dan konjugat sulfat serta glukuronidanya yang ada dalam urine dihidrolisis dalam adanya asam 4- aminofenol. Senyawa ini kemudian berikatan dengan fenol dalam adanya hiobromit membentuk suatu zat warna indofenol yang konsentrasinya ditentukan secara spektrofotometrik.
1)      Membuat larutan parasetamol 1mg/ml dalam air . pengenceran stok ini denga air memberikan larutan parasetamol standar 50,100,200,400,600 dan 800 mikrogram/ml
2)      Urine blanco 1ml dipipet masukan kedalam tabung reaksi tambahkan 4ml HCl 4M dan 1ml dari masing – masing larutan parasetamol standar
3)      Tabung ditutup dengan gundu dan ditempatkam dalam penangas air mendidih selama 1jam
4)      Tabung didinginkan volme dari masing- masing dicukupkan secara seksama dengan air ad 10ml
5)      Setelah tercampur seluruhnya 1ml Aliquot dipipet dari sampel urine yang dihidroisis (10ml) kedalam tabung reaksi lain, dan ditabahkan 10ml larutan pembentuk warna. Sesudah dicampur perlahan , larutan didiamkan selama 40menit
6)      Serapan dari masing – masing larutan diukur pada 620nm dalam suatu spektrofotometer, nol kana lat terhadap sampel urine blanco yng tidak mengandung obat
7)      Mulai dari 2 diatas, masing – masing sampel urine yang dikumpulkan diberi perlakuan dengan cara yang sama, dengan mensubtitusi sampel urine pada saat itu untuk urine blanco. Disampng itu, 1ml larutan parasetamol standar diganti dengan 1ml air .
DOSIS
Jika tidak ada masalah di organ hati, dosis maksimum paracetamol untuk orang dewasa adalah 4 gram (4000mg) per hari atau 8 tablet paracetamol 500 mg.
Indikasi : analgesik, antipiretik Cara pakai : oralDosis anak 6-12 bulan 60 mg/kali, maks. 6 kali sehari; 1-6 tahun 60-120 mg/kali, maks. 6 kali/hari; 6-12 tahun 150-300 mg/kali, maks. 1,2 g/hari; dewasa 300 mg 1 g/kali, maks. 4 g/hariSediaan : tab. 100 mg, 500 mg; sir. 120 mg/5 ml
Parasetamol termasuk aman dikonsumsi tanpa efek candu seperti obat narkotika. Untuk orang dewasa umumnya dosis dikonsumsi sebesar 500mg, bisa dilihat pada komposisi berbagai merek obat pilek kandungan Asetaminofen ini antara 400-600mg selain kandungan lain dalam kadar rendah, tergantung merek obatnya. Meskipun aman jangan mengkonsumsi Parasetamol lebih dari 5 gram dalam sehari, apalagi untuk seorang pecandu alkohol, malah bisa menyebabkan kerusakan liver.
KOMBINASI OBAT
Paracetamol sering dikombinasikan dengan aspirin untuk mengatasi rasa nyeri pada rematik sebab paracetamol tidak mempunyai efek anti inflamasi seperti aspirin sehingga bila kedua obat ini digabung maka akan didapatkan sinergi pengobatan yang bagus pada penyakit rematik. Paracetamol aman diberikan pada wanita hamil dan menyusui namun tetap dianjurkan pada wanita hamil untuk meminum obat ini bila benar benar membutuhkan dan dalam pengawasan dokter. Paracetamol dikombinasikan dengan opiod codein.
Paracetamol dokombinasikan dengan codein dan penenang (syndol atau mersyndol). Parasetamol umumnya digunakan untuk mengobati demam, sakit kepala, dan rasa nyeri ringan. Senyawa ini bila dikombinasikan dengan obat anti inflamasi non steroid (NSAID) atau obat pereda nyeri opioid, dapat digunakan untuk mengobati nyeri yang lebih parah.
 POINT PENTING PARASETAMOL
Beberapa poin penting yang perlu dicermati dalam penggunaan parasetamol :
  • Hentikan penggunaan parasetamol bila demam berlangsung lebih dari 3 hari atau nyeri semakin memburuk lebih dari 10 hari, kecuali atas saran dokter.
  • Bagi ibu hamil dan menyusui, konsultsikan dengan dokter jika hendak menggunakan obat ini.
  • Orang dengan penyakit gangguan liver sebaiknya tidak menggunakan obat ini.
  • Konsultasikan dengan dokter sebelum mengkombinasi parasetamol dengan obat-obat NSAID, antikoagulan (warfarin), ataupun kontrasepsi oral.
  • Penggunaan parasetamol bersama alkohol dpat meningkatkan toksisitas hati.
  • Konsumsi vitamin C dosis tinggi dapat meningkatkan kadar parasetamol dalam tubuh.

Monday 15 October 2012

TANGGUNG JAWAB PROFESIONAL APOTEKER DALAM PELAYANAN PENDERITA DI RUMAH SAKIT



Pelayanan Profesional Apoteker Dan Kepanitiaan Di Rumah Sakit
Unsur keempat dalam penerapan tanggung jawab profesional apoteker di rumah sakit ialah partisipasi proaktif dalam berbagai kegiatan di rumah sakit yang bertujuan untuk peningkatan mutu pelayanan penderita. Seperti telah diterangkan terdahulu, pelayanan dan partisipasi apoteker dalam proses penggunaan obat adalah pelayanan yang langsung berinteraksi dengan pen-derita dan profesional pelaku perawatan kesehatan.
Dalam kegiatan lain yang merupakan program rumah sakit yang berorientasi kepada kepentingan penderita dan berkaitan dengan obat, apoteker harus berpartisipasi aktif bahkan dalam beberapa kegiatan apoteker wajib meng-gunakan kepemimpinannya agar kegiatan itu terlaksana sebagaimana mestinya. Berbagai kegiatan dan kepanitiaan yang memerlukan peranan apoteker antara lain dalam: panitia farmasi dan terapi (PFT); panitia sistem pemantauan kesalahan obat; panitia sistem pemantauan dan pelaporan reaksi obat yang merugikan; panitia evaluasi penggonaan obat; penerbitan buletin farmasi; partisipasi dalam program pendidikan “in-service” bagi apoteker, perawat dan dokter; sentra inforrnasi obat; tim investigasi obat; tim unit gawat darurat; pelayanan perawatan kritis; panitia pengendalian infeksi; panitia perawatan penderita; panitia alat kesehatan/alat kedokteran; berbagai panitia lain yang berkaitan dengan kefarmasian. Peranan apoteker dalam berbagai kegiatan atau kepanitiaan tersebut di atas diterangkan dalam buku “Farmasi Klinik-Teori dan Penerapan”.
Apoteker rumah sakit wajib memahami dan menerapkan keempat unsur utama dari pelayanan farmasi yang telah diuraikan di atas agar apoteker dan IFRS-nya mendapat pengakuan keberadaan dan kebutuhannya bagi rumah sakit dan terutama bagi penderita dan masyarakat.
Empat unsur Pelayanan Farmasi
n  Pelayanan Farmasi yang baik.
n  Pelayanan profesi apoteker dalam penggunaan obat.
n  Praktik dispensing yang baik.
n  Pelayanan profesional apoteker yg proaktif dalam berbagai  kegiatan yg bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan kepada pasien.
Syarat Pelayanan Farmasi yang baik (WHO)
  Keselamatan dan kesejahteraan pasien merupakan perhatian utama
  Penyediaan obat dan bahan lain dengan
 Mutu terjamin
 Informasi dan nasehat yang tepat bagi pasien, dan
 Pemantauan efek pemakaian
  Berkontribusi pada penulisan resep yg rasional dan ekonomis, serta tepat dalam penggunaan obat.
 Tujuan tiap unsur Pelayanan farmasi
Harus relevan dengan individu
Ditetapkan secara jelas, dan
Dikomunikasikan secara efektif kepada semua yang terlibat
Kegiatan Apoteker dalam Pelayanan Farmasi yang Baik (PFB)
 Profesionalisme adalah filasofi utama yg mendasari praktik, disamping faktor ekonomi
Untuk penggunaan obat dokter perlu masukan dari apoteker (secara normatif)
 Hubungan kemitraan berdasarkan saling percaya dan yakin dalam berbagai hal yg berkaitan dengan farmakoterapi
 Apoteker perlu informasi yg independen, komprehensif dan mutakhir tentang terapi dan obat yg digunakan
 Melakukan asesmen profesional thd materi promosi obat, serta penyebaran informasi yg telah dievaluasi
Apoteker sesuai profesi (seharusnya) akan terlibat dalam semua tahap percobaan klinik
Tujuan Pelayanan Profesi Apoteker dalam penggunaan obat
Melindungi pasien dari terjadinya kembali penyakit yang berkaitan dengan obat, misalnya alergi atau reaksi obat yg merugikan 
 Mendeteksi dan memperbaiki ketidaktepatan atau bahaya terapi yg diberikan secara bersama-sama
 Meramalkan dan mencegah toksisitas obat
Meningkatkan kepatuhan pasien melalui fungsi farmasi klinis

Praktik Dispensing

I. Definisi
Dispensing obat adalah proses berbagai kegiatan yang berkaitan dengan dispensing obat. Berbagai kegiatan tersebut adalah menerima dan memvalidasi resep obat, mengerti dan menginterpretasikan maksud resep yang dibuat dokter, membahas solusi masalah yang terdapat dalam resep bersama-sama dengan dokter penulis resep, mengisi Profil Pengobatan Penderita (P-3), menyediakan atau meracik obat, memberi wadah dan etiket yang sesuai dengan kondisi obat, merekam semua tindakan, mendistribusikan obat kepada Penderita Rawat Jalan (PRJ) atau Penderita Rawat Tinggal (PRT), memberikan informasi yang dibutuhkan kepada penderita dan perawat.
Praktik Dispensing yang Baik adalah suatu praktik yang memastikan suatu bentuk yang efektif dari obat yang benar, ditujukan kepada pasien yang benar, dalam dosis dan kuantitas sesuai instruksi yg jelas, dan dalam kemasan yang memelihara potensi obat.
II. Lingkungan Dispensing
Yang termasuk lingkungan dispensing adalah staf, sekeliling lingkungan fisik, rak, ruang peracikan, ruang penyimpanan, peralatan, permukaan yang digunakan selama bekerja, dan bahan pengemas.
Lingkungan dispensing harus bersih dan diorganisasikan. Bersih karena umumnya obat digunakan secara internal dan diorganisasikan agar dispensing dapat dilakukan dengan aman, akurat, dan efisien.
Staf harus memiliki kebersihan diri dan harus memakai baju kerah putih/baju kerja. Sekeliling lingkungan fisik, ruang peracikan, dan ruang penyimpanan harus bebas debu dan kotoran; sebaiknya dibersihkan setiap hari. Wadah dan obat-obattan sebaiknya diorganisasikan dalam rak; sebaiknya  obat dalam dan obat luar diletakkan secara terpisah; bahan kimia cair dan padat juga sebaiknya disimpan secara terpisah; semua wadah dan obat harus diberi etiket secara jelas untuk memastikan pemilihan yang aman dari sediaan dan meminimalkan kesalahan. Semua peralatan untuk meracik, seperti lumpang dan alu, spatula, timbangan, dll harus dibersihkan hingga bersih dan kering sebelum pemakaian sediaan selanjutnya. Timbangan sebaiknya dikalibrasi sesuai dengan peraturan yang ada.
Lingkungan dispensing harus memiliki ruangan yang memungkinkan gerakan yang longgar bagi staf selama proses dispensing, tetapi pergerakan harus diminimalkan untuk memelihara efisiensi.
Sistem perputaran sediaan harus ditetapkan berbasis obat yang digunakan terlebih dahulu, misalnya yang masuk dulu/keluar dulu. (First In/First Out).
III. Personel Dispensing
Selain membaca, menulis, menghitung, dan menuang, personel dispensing harus memiliki kemampuan sebagai berikut:
  • Pengetahuan tentang obat yang mau didispensing, seperti penggunaan umum, dosis yang digunakan, efek samping yang ditimbulkan, mekanisme kerja obat, interaksi dengan obat lain/makanan, penyimpanan yang baik, dll.
  • Keterampilan kalkulasi dan aritmatik yg baik.
  • Keterampilan mengemas yang baik.
  • Bersifat bersih, teliti, dan jujur.
  • Memiliki sikap dan keterampilan yang baik dalam berkomunikasi dengan penderita dan profesional kesehatan lain.
IV. Proses Dispensing
  1. Menerima dan memvalidasi resep
  2. Mengkaji resep untuk kelengkapan
  3. Mengerti dan menginterpretasikan resep
  4. Menapis profil pengobatan penderita
  5. Menyiapkan, membuat, atau meracik obat
  6. Mendistribusikan obat kepada penderita.

Thursday 11 October 2012

Suspensi Oral



1.       Pengertian Suspensi
Suspensi merupakan sistem heterogen yang terdiri dari dua fase yaitu fase luar dan kontinue umumnya merupakan cairan atau semi padat dan fase terdispersi atau fase dalam terbuat dari partikel – partikel kecil yang pada dasarnya tidak larut tapi terdispersi seluruhnya pada fase kontinue (Patel dkk, 1994). Suspensi secara umum dapat didefinisikan sebagai sediaan yang mengandung obat padat dalam bentuk halus dan tidak larut terdispersi dalam cairan pembawa. Zat yang terdispersi harus halus dan tidak boleh cepat mengendap dan bila dikocok perlahan – lahan endapan harus segera terdispersi kembali (Anief, 2007).
Suspensi dalam farmasi digunakan dalam berbagai cara yaitu:
a.       Intramuskular inject
b.      Tetes mata
c.       Peroral
d.      Rektal
Suspensi oral adalah sediaan cair yang mengandung partikel padat yang terdispersi dalam pembawa cairdengan bahan pengaroma yang sesuai dan ditujukan untuk penggunaan oral (Depkes RI, 1995).
Ada beberapa alasan pembuatan sedian supensi oral salah satunya adalah karena obat – obat tertentu tidak stabil secara kimia bila ada dalam larutan tapi stabil bila disuspensi. Selain itu, untuk banyak pasien bentuk cairan lebih banyak disukai daripada bentuk padat (tablet dan kapsul). Karena mudahnya menelan cairan dan keluwesan dalam pemberian dosis aman dan mudah diberikan untuk anak–anak (Ansel, 1989).
Adapun sifat–sifat spesifik yang untuk suspensi farmasi (Ansel, 1989):
a.              Suatu suspensi farmasi yang dibuat dengan tepat dan mengendap secara lambat dan harus rata lagi bila dikocok
b.             Karakteristik suspensi harus sedemikian rupa sehingga ukuran partikel suspensi tetap agak konstan untuk waktu lama pada penyimpanan
c.              Supensi harus bisa dituang dari wadah dengan cepat dan homogen

2.       Formula Suspensi Oral
Formulasi sedian suspensi terdiri dari:
R/ Zat aktif
    Pensuspensi
    Zat tambahan
            Zat pengawet
Pendapar
Pembasah
Zat penambah rasa
Zat penambah warna
Zat penambah bau
Zat pembawa
Tabel 1. Contoh Formula Suspensi
No
Formula
Konsentrasi
1
Parasetamol
5gr
2
Asam sitrat
0,5%
3
Natrium sitrat
0,5%
4
Kollidon CL-M
5%
5
Dextrosa
30%
6
Essence orange
0,1%
5
Aquadest
Ad 100ml

a.              Zat aktif
Yaitu zat yang berkhasiat dalam suspensi
b.             Pensuspensi (Suspending agent)
Merupakan bahn yang dapat meningkatkan viskositas dari suspensi sehingga pengendapan dapat diperlambat.
Menurut Aulton (1989), bahan pensuspensi dapat dikelompokkan menjadi:
1)             Polisakarida
Yang termasuk golongan polisakarida yaitu:
a)             Acacia/ Gom
Merupakan bahan alam yang berasal dalam getah eksudat dari tanaman acasia serbuk berwarna putih. Mudah terkontaminasi oleh sebab itu perlu disterilisasi terlebih dahulu sebelumnya (Aulton, 1989). Biasanya digunakan dalam bentuk mucilagodengan 35% terdispersi dalam air (King, 1984)
b)             Tragacant
Merupakn ekstrak kering dari tanaman semak Astragalus, umumnya tidak larut dalam air dan baik untuk membuat kekentalan yang sedang. Secara umum penggunaannya lebih sulit dari pada acacia. Biasanya digunakn dalam bentuk mucilago 6% (King, 1984).
c)             Na Alginat
Berasal dari rumput laut, mengandung bagian asan dan bagian garam. Bagian asam dan garam kalsiumnya tidak larut dalam air sebaliknya garam natrium, garam kalium dan garam ammonium alginat larut dalam air. Penggunaan 3-6% akan membentuk gel seperti salep (Voight, 1995).
d)            Starch
Digunakan dalam bentuk kombinasi bersama Caboxymethilcellulose sebanyak 2,5% dalam air akan menghasilkan produk kental (Aulton, 1989)



e)             Xanthan Gum
Merupakan polisakarida semisintesis mengandung garam natrium, kalsium dan kalium dengan berat molekul tinggi. Larut dalam air panas dan dingin, digunakan dengan kadar 0,5% (Aulton, 1989).
f)              Povidon
Larut dalam air dan etanol. Memilki pH 3-7, digunakan dalam sediaan suspensi sebagai suspending agent dengan kadar >5% (Wade, 1994).
2)      Cellulose larut dalam air
a)         Methylsellulose
Larut dalam air dingin tetapi tidak larut dalam air panas (King, 1984) konsentrasi methylsellulose >1% memberi larutan air yang jernih, sedangkan pada konsentrasi 5-10% mengarah pada pembentukan gel yang bersifat plastis yang digunakan untuk terapi kutan (Voight, 1995).
b)      Hidroksietilcellulose
Larut dalam air dingin dan panas, memiliki aktivitas permukaan yang rendah, bereaksi netral dan menunjukkan koagualsi bolak-balik (Aulton, 1989). Pada konsentrasi 10-15% membentuk gek seperti salep (Voight, 1995).
c)       Natriumcarboksimethylsellulose
Larut dalam air dingin dan panas menghasilkan larutan jernih. Lebih sensitf terhadap pH dibandingkan dengan metilselulosa. Stabil pada pH 5-10. Digunakan pada konsentrasi antara 0,25-1% (Aulton, 1989). Menghasilkan empat kekentalan yang rendah, sedang, tinggi dan ekstra tinggi (Jenkins dkk, 1995). Pembuatan mucilago dengan menaburkan Na CMC diatas air panas sebanyak 20 kalinya. Biarkan sampai mengembang kemudian gerus sampai homogen.
3)             Tanah Liat (Clay)
Menurut Jankins (1995) ada 2 jenis tanah liat yang digunakan sebagai pensuspensi, yaitu:
a)             Bentonit
Suatu clay yang tidak dapat larut dalam air tetapi dapat menyerap air dalam membetuk suatu suspensi yang kental.
b)             Veegum
Merupakan gabungan dari magnesium dan aluminium silikat yang digunakan sebagai pengental dengan kadar 0,25-2%.
c.       Zat Tambahan, terdiri dari:
1)         Pengawet
Menurut Boylan (1994) ada tiga kriteria pengawet yang ideal yaiu:
a)             Pengawet harus efektif terhadap mikroorganisme spektrum luas.
b)             Pengawet harus stabil fisika kimian dan mikribiologisselama masa berlaku produk tersebut.
c)             Pengawet harus tidak toksis, mensesitasi, larut dengan memadai, dapat bercampur dengm komponen-komponen formulasi lain dan dapat diterima dilihat dari rasa dan bau pada konsentrasi yang digunakan (Boylan, 1994).
Adapun pengawet yang umum digunakan dalam sediaan farmasi yaitu: asam benzoat 0,1%, Natrium benzoat 0,1%, atau kombinasi dari metilparaben (0,05%) dan propilparaben (0,03) (Jenkins dkk, 1995).
2)         Larutan dapar (Buffer)
Menurut Boylan (1994) untuk dapat menjaga kelarutan obat, maka suatu sistem harus didapar secara memadai. Pemilihan suatu dapar harus konsisten dengan kriteria sebagai berikut:
a)             Dapar harus mempunyai kappasitas memadai dalam kisaran pH yang diinginkan.
b)             Dapar harus aman secara biologis untuk penggunaan yang dimaksud.
c)             Dapar hanya mempunyai sedikit atau tidak mempinyai efek merusak terhadap stabilitas produk akhir.
d)            Dapar harus memberikan rasa dan warna yang dapat diterima produk.

3)      Zat Pembasah (wetting agent)
Dalam pembuatan suspensi penggunaan zat basah sangat berguna dalam penurunan tegangan antar muka partikel padat dan cairan pembawa (Anief, 1994). Zat pembasah yang sering digunakan dalam pembuatan suspensi adalah air, alkohol, gliserin (Ansel, 1989).
Zat-zat hidrofilik (sukar pelarut) dapat dibasahi dengan mudah oleh air atau cairan-cairan polar lainnya sehingga dapat meningkatkan viskositas suspensi-suspensi air dengan besar. Sedangkan zat-zat hidrofobik (tidak sukar pelarut) menolak air, tetapi dapat dibasahi oleh cairan-cairan nonpolar. Zat pada hidrofilik biasanya dapat digabungmenjadi suspensi tanpa zat pembasah (Patel dkk, 1994).

4)             Zat Penambah Rasa
Ada empat rasa sensasi dasar yaitu: asin, pahit, manis dan asam. Suatu kombinasi zat pemberi rasa biasanya diperlukan untuk menutupi sensasi rasa ini secara efektif. Menthol kloroform dan berbagai garam sering kali digunakan sebagai zat pembantu pemberi rasa (Patel dkk, 1994).
Menurut Aulton (1989), ada tiga tipe penambahan rasa yaitu:
a)             Zat pemanis, contohnya: sorbitol, saccharin dan invert syrup.
b)             Syrup Berasa, contohnya: blackcurant, rasoberry dan chererry.
c)             Minyak Beraroma / Aromatic Oils, contohnya: anisi, cinnamon lemon dan pepermint.
d)            Penambahan Rasa Sintetik, contohnya: kloroform, vanillin, benzaldehid, dan berbagai senyawa organik lain (alkohol, aldehid, ester dan keton).

5)             Zat Penambah Warna
Ada beberapa alasan mengapa farmasi perlu ditambahkan zat pewarna yaitu menutupi penampilan yang tiadak enak dan untuk menambah daya tarik pasien. Zat pewarna harus aman, tidak berbahaya dan tidak memilikiefek farmakologi. Selain itu tidak bereaksi dengan zat aktif dan dapat larut baik dalam sediaan (Ansel, 1989).
Pemilihan warna biasanya dibuat konsisten dengan rasa misalnya merah untuk strawbery dan warna kuning untuk rasa jeruk (Ansel, 1989). Beberapa contoh yang bisa digunakan yaitu Tartazin (kuning), amaranth (merah),  dan patent blue V (biru). Clorofil (hijau) (Aulton, 1989).
6)             Zat Penambah Bau
Tujuan penambahan bau adalah untuk dapat menutupi bau yang tidak enak yang ditimbulkan oleh zat aktif atau obat. Bau sangat mempengauhi rasa dari suatu preparat pada bahan makan (Ansel, 1989). Dapat digunakan penambah bau berupa essense dari buah-buahan yang disesuaikan dengan rasa dan warna sediaan yang akan dibuat.
7)             Zat Pembawa
Zat pembawa yang bisa digunakan dalam pembuatan suspensi oral adalah air murni (Ansel, 1989).

1.              Stabilitas Suspensi
Salah satu masalah yang dihadapi dalam proses pembuatan suspensi adalah cara untuk memperlambat penimbunan partikel serta menjaga homogenitas dari partikel ini merupakan salah satu cara untuk menjaga stabilitas suspensi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi suspensi:
a.              Kekentalan (viskositas)
Kekentalan suatu cairan mempengaruhi pola kecepatan aliran dari suatu cairan tersebut. Makin kental kecepatan alirannya makin turun kecepatan aliran dari cairan tersebut akan mempengaruhi pula gerakan turunnya partikel yang terdapat didalamnya dengan menambah viskositas cairan. Gerakan turun dari partikel yang dikandungnya akan diperlambat (Ansel, 1989). Viskositas suspensi  menurut SNI adalah 37cp-396cp
Hal ini dibuktikan dengan rumus:      
Dimana:
         : kekentalan cairan
         : kekentalan air pada suhu penetapan
 tc        : waktu cair aliran (dtk)
            dc        : kerapatan cairan (g/ml)
             ta        : waktu alir air (dtk)
            da        : kerapatan air (gr/ml)
Istilah rheologi digunakan untuk menggambarkan aliran cairan dan Isaac newton yang menyatakan bahwa tahanan terhadap aliran adalah sebanding dengan kecepatan geser. Istilah newton tentang tahanan terhadap aliran sekarang dikenal dengan kekentalan atau viskositas yang didefinisikan sebagai tetapan perbandingan antara tekanan geser (Shering stress) dengan kecepatan geser (Rate of share). Tekanan geser adalah gaya per luas area yang digeser (dyne/cm). Kecepatan geser adalah kecepatan dibagi ketebalan film (detik-1).
Viskositas= (dyne/cm2) / (1/detik)= poise (P)= 100centipoise (cps)
Rheologi dari suatu zat tertentu dapat mempengaruhi penerimaan obat bagi pasien, stabilitas fisik obat, bahkan ketersediaan hayati dalam tubuh (bioavailability). Sehingga viskositas telah terbukti dapat mempengaruhi laju absorpsi obat dalam tubuh.
b.             Ukuran Partikel
pengecilan ukuran partikel berguna untuk kestabian supensi karena laju endap dari partikel padat berkurang kalu ukuran partike dikurangi. Pengurangan kuran partikel menghasilkan laju pengendapan yang lambat dan lebih beragam.
c.               Volume Sedimentasi
Endapan yang terbentuk harus dengan mudah didispersikan kembali dengan pengocokan sedangkan agar menghasilkan suatu sistem homogen maka penguurn volume endapan dan mudah mendispersi membentuk dua prosedur evaluasi dasar yang paling umum (Patel dkk, 1994)
Volume sedimentasi yaitu mempertimbangkan rasio tinggi akhir endapan
(Hu) terhadap tinggi awal (Ho) pada waktu suspensi mengendap dalam suatu
kondisi standar.
F = Hu/Ho
Makin besar fraksi ini, makin baik kemampuan suspensinya (Lachman, 1994)
d.             pH
pH merupakan suatu penentu utama adalam kestabilan suatu obat yang cenderung penguraian hidrolitik. Untuk kembanyakan obat pH kestabilan optimum adalah pada situasi asam antara pH 5-6. Oleh karena itu, melalui penggunakan zat pendapar yang tepat kestabilan senyawa yang tidak stabil dapat ditinggikan (Ansel, 1989). pH standar suspensi menurut Kulshreshta, Singh, dan Wall (2009)  antara 5-7.
e.              Redispersibilitas
Daya kocok sedimen dapat dilakukan dengan gerak membalik susupensi yang mengandung sedimen sebasar 900  kemudian dapat diukur waktunya atau jumlah gerak membalik, yang dibutuhkan untuk mendispersikan kembali seluruh partikel (Voight, 1995).
Kemampuan suspensi untuk menjaga agar dosis obat terdispersi secara merata diukur berdasarkan kemampuannya untuk mendispersikan kembali suatu suspensi yang mengendap. Endapan yang terbentuk selama penyimpanan harus mudah didispersikan kembali bila wadahnya dikocok, membentuk suspensi yang homogen. Oleh karena itu pemeriksaan kemampuan redispersi sangat penting dalam evaluasi stabilitas fisik suspensi.
Penentuan redispersi dapat ditentukan dengan cara  mengkocok sediaannya dalam wadahnya secara konstan dengan menggunakan pengocok mekanik. Kemempuan redispersi baik bila suspensi telah terdispersi sempurna dengan tangan maksimum 15 kali pengocokan.
4.             Pembuatan Suspensi
Menurut Patel dkk (1994), ada beberapa metode dalam pembuatan suspensi, yaitu:
a.              Metode pengendapan
1)             Pengendapan Dengan Pelarut Organik
Obat–obatan yang tidak larut dalam air dapat diendapkan dengan melarutkannya dalam pelarut organik yang bercmpur dengan air dan kemudian menambah fase organik ke air murni dibawah kondisi standar.
2)             Pengendapan  yang dipengaruhi oleh perubahan pH dan medium
Metode ini dapat lebih membantu dan tidak menimbulkan yang serupa dengan endapan organik. Tetapi teknik ini hanya dapat diterapkan keobat – obat yang seharusnya tergantung pada pH.
3)             Penguraian rangkap
Metode ini meliputi kimia sederhana, meskipun beberapa faktor fisis juga ikut berperan
Menurut Anief (2007) dalam pembuatan suspensi stabil secara fisis yang biasa dipakai sebagai pegangan pedekatan adalah:
a)             Penggunaan pembawa tersusun untuk partikel deflokulasi dalam suspensi. Pembawa tersusun pseudoplastis dan plastis. Pembawa tersusun bekerja dengan cara penjeratan (calmpiping) partikel–partikel (umumnya deflokulasi) sedemikian, hingga secara deal tidak terjadi pengendapan.
b)             Penggunaan prinsip – prinsip untuk membentuk flok, mskipun terjadi cepat mengenap, tetapi dengan pengocokkan dengan mudah tersuspensi kembali.
Stabilitas fisis yang optimum dan bentuk rupanya yang baik akan terjadi bila suspensi diformulasikan dengan patikl–partikel flokulasi dengan pembawa tersusun dari tipe koloid hidrofil (flokulasi terkontrol). Menurut Hinds, untuk membentuk flokulasi dalam suspensi digunakan elektrolit, surfaktan, dan polimer.
Pembuatan suspensi sistem flokulasi dapat dilakukan seperti berikut:
a)             Partikel diberi pembasah dan dispersi medium
b)             Lalu ditambah zat pemflokulasi dan diperolah suspensi flokulasi
c)             Apabila dikehendaki agar flok yang terjadi tidak cepat mengenap maka ditambah pembawa tersusun.

b.             Metode Dispersing
Bahan tersebut dilarutkan dahulu dengan air sebelum dicampur dengan dengan bahan –bahan yang akan disuspensikan. Surfaktan dapat digunakan untuk menjamin pembasahan zat padat pada hidrofobik engan seragam. Penggunaan zat pensuspensi bisa iusulkan tergantung pada penggunaan spesifik. Metode sebenernya dari pendispersi zat padat merupakan salah satu pertimbangan yang ebih pentin, karena pengurangan ukuran prtikel mungkin dihasilkan atau mungkin tidak dihasilkan dari proses dispersi.
5.              Sistem Flokulasi dan Deflokulasi
Dalam sistem flokulasi, partikel terflokulasi adalah terikat lemah cepat mengenap dan mudah tersuspensi kembali dan tidak membentuk cake. Sedangkan pada sisitem deflokulasi, partikel terdeflokulasi mengenap perlahan – lahan dan akhirnya membentuk sedimen dan terjadi agregrasi dan selanjutnya cake yang keras dan sukar tersuspensi kembali.
Pada sistem flokulasi biasanya mencegah pemisahan yang sungguh– sungguh tergantung pada kadar partikel padat dan derajat flokulasinya pada suatu waktu sisitem flokulasi klihatan kasar akibat terjadinya flokul. Dalam sistem deflokulasi, partikel terdispersi baik dn mengenap senderian, tapi lebih lamat dari pada sistem flokulasi tapi partikel delokulasi berkehendak membentuk sedimen atau cake yang sukar terdispersi kembali.
Tabel 2.      Sifat–sifat dari partikel flokulasi dan deflokulasi dalam susupensi menurut Anief (2007)
No
Deflokulasi
Flokulasi
1
Partikel tersuspensi dalam keadaan terpisah satu dengan lainnya
Partikel merupakan agregat yang bebas
2
Sedimentasi lambat,masing – masing partikel mengenap terpish dan ukuranya minimal 
Sedimentasi cepat, partikel mengenap sebagai flok yaitu kumpulan partikel
3
Sedimentasi terjadi lambat
Sedimentasi terjadi cepat
4
Akhirnya sedimentasi akan membentuk cake (agregat) yang sukar terdispersi kembali
Sedimentasi terbungkus bebas membentuk cake yang keras dan padat dan mudah terdispersi kembali seperti semula
5
Wujud suspensi menyenangkan karena zat tetap tersuspensi dalam waktu relative lama, meskipun ada endapan cairan atau tetap berkabut
Wujud susupensi kurang menyenangkan sebab sedimentasi terjadi cepat dan diatasnya terjadi daerah cairan yang jernih

6.             Pengemasan dan Penyimpanan
            Semua suspensi harus dikemas dalam wadah mulut lebar yang mempunyai ruang udara yang menandai di atas cairan sehingga dapat dikocok dan mudah dituang. Kebanyakan suspensi harus disimpan dalam wadah yang tertutup rapat dan terlindung dari pembekuan, panas berlebihan dan cahaya. Suspensi perlu dikocok setiap kali sebelum digunakan untuk menjamin distribusi zat yang merata dalam pembawa sehingga dosis yang diberikan setiap kali tepat dan seragam (Ansel, 1989).