Tuesday 9 February 2016

Pengelolaan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 3 Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi, pada Pasal 3, 4, 5 dinyatakan bahwa peredaran Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi terdiri dari penyaluran dan penyerahan. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi yang diedarkan harus memenuhi persyaratan keamanan, khasiat dan mutu. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar dari Menteri. Untuk mendapatkan izin edar Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud harus melalui pendaftaran pada BPOM dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada Pasal 8 menyebutkan bahwa Penyaluran Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi wajib memenuhi Cara Distribusi Obat yang Baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan pada Pasal 9 menyebutkan bahwa:
a. penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan berdasarkan:
i. surat pesanan atau
ii. Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) untuk pesanan dari Puskesmas.
b. surat pesanan hanya dapat berlaku untuk masing-masing Narkotika, Psikotropika, atau Prekursor Farmasi.
c. surat pesanan Narkotika hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) jenis Narkotika.
d. surat pesanan Psikotropika atau Prekursor Farmasi hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) atau beberapa jenis Psikotropika atau Prekursor Farmasi.
e. surat pesanan Narkotika, Psikotropika, atau Prekursor Farmasi harus terpisah dari pesanan barang lain.
Penyimpanan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi diatur pada Pasal 25 Ayat (1), (2), dan (3) di sebutkan bahwa:
a. tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dapat berupa gudang, ruangan, atau lemari khusus.
b. tempat penyimpanan Narkotika dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain Narkotika.
c. tempat penyimpanan Psikotropika dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain Psikotropika.
d. tempat penyimpanan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain Prekursor Farmasi.
Pasal 18 Ayat (1), (2), dan (3) menyebutkan bahwa:
a. penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi, hanya dapat dilakukan dalam bentuk obat jadi.
b. dalam hal penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dilakukan kepada pasien, harus dilaksanakan oleh Apoteker di fasilitas pelayanan kefarmasian.
c. penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dilakukan secara langsung sesuai dengan standara pelayanan kefarmasian.
Pasal 19 Ayat (5) menyatakan bahwa Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi Farmasi Klinik hanya dapat menyerahkan Narkotika dan/atau Psikotropika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
Sedangkan Pasal 22 Ayat (3) menyatakan bahwa Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi Farmasi Klinik hanya dapat menyerahkan Prekursor Farmasi golongan obat keras kepada pasien berdasarkan resep dokter.
Pasal 43 Ayat (1) dan (3) menyebutkan bahwa Industri Farmasi, Pedagang Besar Farmasi, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu Pengetahuan atau, dokter praktik perorangan yang melakukan produksi, penyaluran, atau penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi.
Pasal 45 Ayat (6) dan (7) menyebutkan bahwa Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu Pengetahuan, dan dokter praktik perorangan wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan/ penggunaan Narkotika dan Psikotropika, setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai setempat.
Pelaporan pemasukan dan penyerahan/ penggunaan Narkotika dan Psikotropika paling sedikit terdiri atas:
a. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan/ atau Prekursor Farmasi
b. jumlah persediaan awal dan akhir bulan
c. jumlah yang diterima
d. jumlah yang diserahkan
Pasal 37 menyebutkan bahwa pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dilakukan dalam hal:
a. diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/ atau tidak dapat diolah kembali
b. telah kadaluwarsa
c. tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/ atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa penggunaan
d. dibatalkan izin edarnya
e. berhubungan dengan tindak pidana
Pasal 40 menyatakan bahwa pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Penanggung jawab Apotek menyampaikan surat pemberitahuan dan permohonan saksi kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/ atau Balai Besar/Balai Pengawas obat dan Makanan setempat.
b. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/ atau Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat menetapkan petugas di lingkungannya menjadi saksi pemusnahan sesuai dengan surat permohonan sebagai saksi.
c. Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan.
d. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi harus dilakukan pemastian kebenaran secara organoleptis oleh saksi sebelum dilakukan pemusnahan.
Pasal 42 Ayat (1), (2), dan (3) menyebutkan bahwa:
a. Penanggung jawab Apotek yang melaksanakan pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi harus membuat berita acara pemusnahan.
b. Berita acara pemusnahan sekurang-kurangnya memuat:
i. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan
ii. tempat pemusnahan
iii. nama penanggung jawab Apotek
iv. nama petugas kesehatan yang menajdi saksi dan saksi lain badan/ sarana tersebut
v. nama dan jumlah Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang dimusnahkan
vi. cara pemusnahan
vii. tanda tangan penanggung jawab Apotek
c. Berita acara pemusnahan dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan tembusannya disampaikan kepada Direktur Jenderal dan Kepala Badan/Kepala Balai.

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek PMK 35 Tahun 2014

Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Menkes RI, 2014). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian, pada Pasal 3 ayat (1) dinyatakan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi:

a. pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
b. Pelayanan Farmasi Klinik.

Pasal 3 ayat (2) sebagai mana dimaksud pada ayat 1, dinyatakan bahwa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi:


a. Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai perlu diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.
b. Pengadaan
Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.
d. Penyimpanan
i. obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat nama obat, nomor batch dan tanggal kadaluwarsa.
ii. semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.
iii. sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan dan kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.
iv. pengeluaran obat memakai sistem FEFO dan FIFO.
e. Pemusnahan
i. obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak yang mengandung narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
ii. pemusnahan obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita acara pemusnahan.
iii. resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di apotek dengan cara dibakar atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan berita acara pemusnahan resep, dan selanjutnya dilaporkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
f. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya memuat nama obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.
g. Pencatatan dan Pelaporan

Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi pengandaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan. 
Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya. Sedangkan pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan pelaporan lainnya.

Pada Pasal 3 ayat (3) disebutkan bahwa pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Pengkajian Resep
Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuain farmasetik dan pertimbangan klinis. 
1) kajian administratif meliputi: 
i. nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan. 
ii. nama dokter, nomor Surat Izin Praktik, alamat, nomor telepon dan paraf. 
iii. tanggal penulisan resep. 
2) kajian kesesuaian farmasetik meliputi: 
i. bentuk dan kekuatan sediaan 
ii. stabilitas 
iii. kompatibilitas (ketercampuran obat) 
3) pertimbangan klinis meliputi: 
i. ketepatan indikasi dan dosis obat 
ii. aturan, cara dan lama penggunaan obat 
iii. duplikasi dan/atau polifarmasi 
iv. reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat, manifestasi klinis lain) 
v. kontra indikasi 
vi. Interaksi 
Apabila ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka Apoteker harus menghubungi dokter penulis resep.


b. Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi obat. Setelah melakukan pengkajian resep dilakukan hal sebagai berikut: 
i. menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep 
ii. melakukan peracikan obat bila diperlukan 
iii. memberikan etiket 
iv. memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk obat yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan menghindari penggunaan obat yang salah. 
Setelah penyiapan obat dilakukan hal sebagai berikut: 
i. sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta jenis dan jumlah obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan resep). 
ii. memanggil nama dan nomor tunggu pasien 
iii. memeriksa ulang identitas dan alamat pasien 
iv. menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat 
v. memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal yang terkait dengan obat 
vi. penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang baik 
vii. memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau keluarganya 
viii. membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh Apoteker (apabila diperlukan) 
ix. menyimpan resep pada tempatnya 
x. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien.


c. Pelayanan Informasi Obat
Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal.


d. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien.


e. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (home pharmacy care)
Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.


f. Pemantauan Terapi Obat
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping.


g. Monitoring Efek Samping Obat
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.

Tinjauan Umum Apotek Terbaru


Definisi Apotek
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek pasal 1, apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker. Sedangkan pengertian dari pelayanan kefarmasian itu sendiri adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggungjawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.


Tugas dan Fungsi Apotek
Apotek merupakan tempat bagi Apoteker dalam melakasanakan pengabdian profesi berdasarkan keilmuan, tanggung jawab dan etika profesi. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1980 tentang Apotek pasal 2, tugas dan fungsi apotek adalah: 
a. tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan. 
b. sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat. 
c. sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus meyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.


Persyaratan Pendirian Apotek
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.922/MENKES/PERS/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek pasal 6, apotek harus memenuhi syarat: 
a. untuk mendapatkan izin apotek, Apoteker atau Apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain. 
b. sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya diluar sediaan farmasi. 
c. apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya diluar sediaan farmasi.


Persyaratan lain yang harus diperhatikan untuk mendirikan suatu apotek adalah harus memiliki Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA). Untuk memperoleh SIPA, Apoteker harus memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA). Berdasarkan Paraturan Menteri Kesehatan RI No.889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian pasal 7, untuk memperoleh STRA, Apoteker harus memenuhi persyaratan: 
a. memiliki ijazah Apoteker. 
b. memiliki sertifikat kompetensi profesi. 
c. mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker. 
d. mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang mempunyai surat izin praktek. 
e. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.


Menurut pasal 17, setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki surat izin sesuai tempat Tenaga Kefarmasian bekerja. Surat izin yang dimaksud berupa: 
a. SIPA bagi Apoteker Penanggung Jawab yang melakukan pekerjaan kefarmasian di fasilitas pelayanan kefarmasian. 
b. SIPA bagi Apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai Apoteker pendamping difasilitas pelayanan kefarmasian. 
c. SIKA (Surat Izin Kerja Apoteker) bagi Apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian difasilitas produksi atau fasilitas distribusi/penyaluran. 
d. SIKTTK (Surat Izin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasian) bagi Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas kefarmasian.


Perizinan Apotek
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.922/MENKES/PERS/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Mengubah beberapa ketentuan seperti dalam pasal 1, 4, 7, 9, 25, 26. 
Pasal 1, Surat Izin Apotek (SIA) adalah surat izin yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker atau Apoteker yang bekerjasama dengan pemilik sarana untuk menyelenggarakan apotek di suatu tempat tertentu. 
Pasal 4 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Apotek, izin mendirikan apotek diberikan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia, kemudian Menteri melimpahkan wewenang pemberian izin apotek kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dimana Kepala Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin apotek sekali setahun kepada Menteri dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. 
Pasal 7 tentang Tata Cara Pemberian Izin Apotek adalah: 
(1) Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

(2) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan (BPOM) untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan apotek untuk melakukan kegiatan.
(3) Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala BPOM selambat- lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat.
(4) dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) tidak dilaksanakan, Apoteker pemohon dapat membuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi.

(5) dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (3), atau pernyataan dimaksud ayat (4) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan Surat Izin Apotek. 
(6) dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala BPOM dimaksud ayat (3) masih belum memenuhi syarat Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja mengeluarkan Surat Penundaan. 
(7) terhadap Surat Penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6), Apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal Surat Penundaan.


Pasal 9, menyatakan permohonan izin apotek yang ternyata tidak memenuhi persyaratan dimaksud Pasal ayat (5) dan atau Pasal ayat (6), atau lokasi apotek tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 (dua belas) hari kerja wajib mengeluarkan Surat Penolakan disertai dengan alasan-alasannya. 
Pasal 25 tentang Pencabutan Surat Izin Apotek, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mencabut surat izin apotek apabila: 
a. Apoteker sudah tidak lagi memenuhi ketentuan persyaratan Apoteker Pengelola Apotek dan atau;

b. Apoteker tidak memenuhi kewajiban dalam hal menyediakan, menyimpan dan menyerahkan sediaan farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin dan mengganti obat generik yang ditulis di dalam resep dengan obat paten dan atau;
c. Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 (dua) tahun secara terus menerus dan atau;
d. terjadi pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan atau;
e. Surat Izin Kerja Apoteker Pengelola Apotek dicabut dan atau;
f. pemilik sarana apotek terbukti terlibat dalam pelanggaran perundang- undangan dibidang obat dan atau;

g. apotek tidak lagi memenuhi persyaratan apotek. 
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebelum melakukan pencabutan berkoordinasi dengan Kepala Balai POM setempat.


Menurut Pasal 26, pelaksanaan pencabutan izin apotek karena apotek tidak lagi memenuhi persyaratan apotek dilakukan setelah dikeluarkan: 
a. peringatan secara tertulis kepada Apoteker Penanggung Jawab sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 2 (dua) bulan.


b. pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 (enam) bulan sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan kegiatan apotek. 
Pembekuan izin apotek dapat dicairkan kembali apabila apotek telah membuktikan memenuhi seluruh persyaratan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan.

Pencairan izin apotek dilakukan setelah menerima laporan pemeriksaan dan Tim Pemeriksaan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.