Thursday 23 May 2013

AKTIVITAS RESPONS IMUN SPESIFIK


Aktivasi sistem imun spesifik memerlukan partisipasi kelompok sel yang disebut sebagai antigen presenting cell (APC), diantaranya sel makrofag, sel dendritik, sel langerhans, dan sel limfosit B. Tahap paling awal aktivasi sistem imun adalah fagositosis/internalisasi antigen oleh sel APC, dilanjutkan dengan proses proteolisis menghasilkan peptida dengan 8-14 asam amino. Antigen yang sudah diolah ini selanjutnya digabungkan dengan protein khusus yang disebut MHC (mayor histocompatibility complex). Kompleks antigen MHC ditampilkan di permukaan sel APC untuk kemudian ditangkap oleh reseptor sel T (CD4) (Gunawan, 2009)
Sel T Helper (CD4) yang teraktivasi akan memproduksi berbagai sitokin, terutama interleukin-2 yang berperan mengaktifkan sel T Helper 1 dan sel T Helper 2. TH1 menghasilkan interferon gamma (IFN-γ), IL-2, dan tumor necrosis factor β (TNF β), yang nantinya akan mengaktifkan sel T sitotoksik (CD8), makrofag, dan sel natural killer (NK) untuk respon imunitas seluler. Sedangkan sel. TH2 menghasilkan IL-4,5,6, dan 10 yang nantinya mengaktifkan sel B menjadi sel plasma penghasil antibodi (gunawan 2009).
Sebagian sel B dan sel T yang sudah teraktivasi akan disimpan sebagai sel memori yang nantinya dikerahkan untuk respons sekunder. Respons terhadap antigen ekstrasel terjadi melalui kerja TH2 yang berakhir pada pembentukan antibodi netralisasi. Sebaliknya respon terhadap organisme intasel seperti mikobakterium berkaitan dengan TH1 yang berakhir pada aktivasi sel makrofag. Sel T sitotoksik mengenal peptida yang disajikan oleh sel-sel yang terinfeksi virus. Sel NK dapat mengenal dan menghancurkan sel-sel tumor dan sel-sel yang terinfeksi (Gunawan, 2009).
            Dua jenis sel darah putih yang memegang peranan penting dalam sistem imunitas adalah magrofa dan limfosit. Respon inmun terhadap suatu antigen dimulai pertama-tama dengan penyerapannya oleh magrofa, yang kemudian menyajikan antigen tersebut kepada limfosit. Seperti diketahui limfosit terdiri dari dua jenis, yakni T-cell dan B-cell (Tan dan Kirana, 2002)
Tujuan akhir dari dua imunitas yang secara artifisial dapat ditimbulkan dengan jalan vaksinasi adalah untuk menciptakan perlindungan dari tubuh terhadap antigen atau terhadap mikroba yang membawanya. (Tan dan Kirana, 2002)
  1. Imunitas aktif
Kekebalan aktif diperoleh sebagai akibat dari infeksi dengan kuman patogen, atau dapat juga secara buatan melalui penyuntikan dengan kuman patogen yang telah mati, dilemahkan atau dengan produk metabolismenya. Untuk imunisasi aktif ini digunakan vaksin (cacar, kolera, pertusis, pes, tbc, rabies, influenza, dan polio). Begitu pula toksoid ( difteri dan tetanus), yakni toksin kuman yang dibuat tidak toksik lagi dengan jalan manipulasi kimiawi. Tujuan pemberian vaksin adalah merangsang imunitas selular maupun imunitas humoral seperti yang layaknya timbul sebagai reaksi terhadap suatu infeksi alami (Tan dan Kirana, 2002)
Antibodies ( imunoglobulin) yang dibentuk oleh tubuh pada imunisasi aktif diekskresikan lebih lambat dari pada antibodi yang diberikan dari luar sebagai serum  (imunisasi pasif). Dengan demikian imunisasi aktif terutama digunakan bila dikehendaki kekebalan yang lama terhadap suatu penyakit.  Lazimnya imunitas ini berlansung selama beberapa bulan sampai beberapa tahun dan dapat ditimbulkan kembali dengan penyuntikan ulang (booster). Tujuan injeksi booster atau revaksinasi pertama, yang diberi paling lambat setelah 6 bulan serentetan injeksi primer, adalah untuk memperkuat imunitas yang semula yang telah ditimbulkan. Injeksi primer dan revaksinasi  pertama disebut imunisasi dasar. (Tan dan Kirana, 2002)
  1. Imunisasi pasif
Antisera, imunosera atau singkatnya sera adalah sera hewan yang mengandung antibodi spesifik dalam kadar tinggi. Anti sera diperoleh dari suatu penyuntikan antigen tertentu kedalam jaringan seekor hewan (imunitas aktif), yang kemudian membentuk antibodi. Kemudian serum dengan antibodi tersebut dipisahkan dan disuntikkan kedalam tubuh hewan lain atau manusia, yang menimbulkan kekebalan pasif terhadap penyakit tersebut.  Cara ini dinamakan imunisasi pasif. (Tan dan Kirana, 2002)
Fungsinya adalah menghindari penyebaran hama infeksi dan pembiakan dalam jaringan. Umumnya sera anti bakterial memiliki khasiat terapi yang rendah sekali. Sebaliknya sera terhadap infeksi virus memiliki khasiat yang tinggi bila diberikan pada permukaan masa inkubasi. Efeknya kecil sekali atau tidak ada bila diberikan setelah penyakitnya sudah berjangkit (Tan dan Kirana, 2002)
Imunitas yang diperoleh dengan imunisasi pasif ini selalu bertahan agak singkat, biasanya hanya beberapa minggu sampai beberapa bulan. Penggunaan pada keadaan akut, misalnya bila infeksi sudah terjadi, maka imunisasi aktif sudah tidak dapat digunakan dengan efektif. Penyebabnya ialah masa inkubasi suatu infeksi berlansung antara 2-5 hari, sedangkan pembentukan antibodi dalam tubuh umumnya membutuhkan waktu beberapa minggu. Pengecualiaan adalah pada rabies dengan tunas yang panjang ( serum anti-rabies)  (Tan dan Kirana, 2002).
Tipe imunitas seseorang berbeda-beda, kemampuan tubuh terhadap penyakit bisa dipengaruhi secara alami maupun dapatan. Faktor alami yang mempengaruhi antara lain spesies, ras, keturunan atau faktor individu. Imunitas dapatan dapat diperoleh secara alami yang diperoleh akibat serangan infeksi, penyakit yang kemudian menghasilkan imunitas aktif atau imunitas pasif. Imunitas dapatan yang aktif diberikan antigen secara injeksi seperti toksin, bakteri dan beberapa bahan lainnya. Penggunaan imunitas yang tepat dapat mengurangi penyakit, namun penggunaan imunitas yng umum dapat menyebabkan resistensi (Karsner, 1921).
HISTAMIN
Alergi, istilah ini disebut juga hipersensitifitas, yang menggambarkan reaktivitas khusus dari tuan rumah terhadap suatu unsur eksogen, yang timbul pada kontak keduakali atau berikutnya. Reaksi hipersensitivitas ini meliputi sejumlah peristiwa autoimun dan alergi eksogen atas dasar proses imunologi. Pada hakekatnya proses imunologi tersebut, walaupun bersifat merusak, berfungsi melindungi organisme terhadap zat – zat asing yang menyerang tubuh (Tan dan Kirana, 2008).
Bila suatu protein asing (antigen) masuk berulang kali ke dalam aliran darah seseorang yang berbakat hipersensitivitas tinggi, maka limfosit-B akan membentuk antibodi dari tipe IgE. IgE ini , yang juga disebut Reagin , mengikat diri pada membran mast-cells tanpa menimbulkan gejala (Tan dan Kirana, 2008).
PEMBAGIAN HISTAMIN
Pembagian histamin atas 2, diantaranya :
1.      Histamine Endogen
           Histamin berperan penting dalam fenomena fisiologis dan patologis terutama pada anafilaksis, alergi, trauma dan syok. Selain itu terdapat bukti bahwa histamine merupakan mediator terakhir dalam respon sekresi cairan lambung; histamine juga mungkin berperan dalam regulasi mikrosirkulasi dan dalam fungsi SSP (Neal,2006).
           Histamin terdapat pada hewan antara lain pada bisa ular, zat beracun, bakteri dan tanaman. Hampir semua jaringan mamalia mengandung precursor histamine. Kadar histamine paling tinggi ditemukan pada kulit, mukosa usus, dan paru-paru (Neal,2006).
           Histamine asal makanan atau yang dibentuk bakteri usus bukan merupakan sumber histamine endogen karena sebagian besar histamine ini dimetabolisme di dalam hati, paru-paru serta jaringan lain dan dikeluarkan melalui urin. Enzim penting untuk sintesis histamine adalah L-histidin dekarboksilase. Depot utama histamin ialah mast cell dan juga basofil dalam darah (Neal,2006).
2.      Histamine Eksogen
           Histamine eksogen bersumber dari daging, dan bakteri dalam lumen usus atau kolon yang membentuk histamine dari histidin. Sebagian histamine diserap kemudian sebagian besar akan dihancurkan dalam hati, sedangkan sebagian kecil masih ditemukan dalam arteri tetapi jumlahnya terlalu rendah untuk merangsang sekresi lambung. Pada pasien sirosis hepatis, kadar histamine dalam darah arteri akan meningkat setelah makan daging, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya tukak peptik (Neal,2006).
Histamine diserap secara baik setelah pemberian SC atau IM. Efeknya tidak ada karena histamine cepat dimetabolisme dan mengalami difusi ke jaringan. Histamine yang diberikan oral tidak efektif karena diubah oleh bakteri usus menjadi N-asetil-histamin yang diserapkan diinaktivasi dalam dinding usus atau hati (Neal,2006).
           Pada manusia ada dua jalan utama dalam metabolisme histamine, yaitu: (1) metilasi oleh histamine-N-metiltransferase menjadi N-metilhistamin; N-metilhistamin oleh MAO diubah menjadi asam N-metil imidazol asetat; (2) deaminasi oleh histamine atau diaminoksidase yang non-spesifik menjadi asam imidazol asetat dan mungkin juga dalam bentuk konjugasinya dengan ribose. Metabolit yang terbentuk akan dieksresikan dalam urin (Neal,2006).
            IgE merupakan kelas utama antibodi reaginik. Pada pasien alergi kadar antibodi spesifik bisa meningkat sampai 100 kali lebih banyak daripada normal. Terikatnya bagian Fc antibodi dengan reseptor pada sel mast, diikuti oleh ikatan silang molekul yang berdekatan oleh antigen, memicu degranulasi oleh suatu mekanisme yang melibatkan influks Ca2+ (Neal,2006).
            Sel mast berisi simpanan histamin tubuh dan terdapat pada hampir seluruh jaringan. Dalam sel mast, histamin berikatan dengan heparin pada granula sitoplasma. Secara normal pelepasan histamin melibatkan influks ion Ca2+ dan karena permiabilitas membran sel terhadap ion Ca2+ berkurang ketika kadar adenosin monophosphat siklik (cAMP) intreseluler meningkat, obat-obat yang menstimulasi sintesis cAMP (agonis adrenoseptor β2 mengurangi pelepasan histamin) (Neal,2006).
Histamin memegang peranan utama pada proses peradangan dan pada sistem daya tangkis. Kerjanya berlangsung melalui tiga jenis reseptor yaitu reseptor H1, H2, dan H3. Reseptor H1 secara selektif diblok oleh antihistaminika, (H1 blockers), reseptor H2 oleh penghambat asam lambung (H2 blockers). Reseptor H2 juga memegang peranan pada regulasi tonus saraf simpatikus  (Tan dan Kirana, 2007)
Aktivitas terpenting histmin adalah
1.      Kontraksi otot polos brochi, usus, dan rahim
  1. Vasodilatasi semua pembuluh dengan penurunan tekanan darah
  2. Memperbesar permeabilitas kapiler untuk cairan dan protein, dengan akibat udema dan pengembangan mukosa
  3. Hipersekresi ingus dan air mata, ludah dahak dan asam lambung
  4. Stimulasi ujung saraf dengan eritema dan gatal-gatal (Tan dan Kirana, 2007)
Dalam keadaan normal, kadar histamin dalam darah hanya rendah sekitar 50 mcg/l sehingga tidak menimbulkan efek. Baru bila mastsells dirusak membrannya sebagai akibat dari salah satu faktor, maka dibebaskanlah banyak histamin sehingga efek itu menjadi nyata. Setelah melakukan kegiatannya, kelebihan histamin diuraikan oleh enzim histaminase yang juga terdapat dalam jaringan (Tan dan Kirana, 2007).
Bila suatu protein asing (antigen) masuk berulangkali kedalam aliran darah seseorang yang memiliki “bakat” hipersensitif maka limfosit-B akan membentuk antibodi dari tipe IgE (disamping IgC dan IgM). IgE ini juga disebut sebagai reagin, mengikat diri pada membran mast cells tanpa menimbulkan gejala. Apabila kemudian antigen (alergen) yang sama atau yang mirip rumus bangunnya memasuki darah lagi, maka IgE akan mengenali dan mengikat padanya. Hasilnya adalah suatu reaksi alergi  akibat pecahnya membran mastsells (degranulasi). Sejumlah zat perantara (mediator) dilepaskan, yakni histamin bersama serotonin, bradikinin dan asam arachionat, yang kemudian diubah menjadi prostaglandin dan leukotrien). Zat-zat ini menarik makrofag dan neutropil (=leukosit tertentu ke tempat infeksi untuk memusnahkan penyerbu, selain itu juga menyebabkan beberapa yaitu brochokontriksi, vasodilatasi, dan pembengkakan jaringan sebagai reaksi terhadap masuknya antigen. Mediator tersebut secara langsung atau melalui susunan saraf otonom menimbulkan bermacam-macam penyakit alergi penting, seperti asma, rhinitis allergica, dan eksim (Tan dan Kirana, 2007).
Pada asma yang di cetus oleh alergi, Antibodies tipe IgE (Imunoglobulin type E) mengikat diri pada mastcells yait disaluran nafas, mata, dan hidung. Bilamana jumlah IgE cukup besar, maka pada waktu alergen yang identik masuk lagi ke dalam tubuh, terjadilah pengabungan antigen-antibody. Mastcells pecah (degranulasi) dan segera melepas mediatornya yaitu histamin. Akibatnya adalah brochokontriksi (bronchospasm) dengan pengembangan mukosa (udema) dan 

0 comments: