Epilepsi
Epilepsi adalah
nama umum untuk sekelompok gangguan atau penyakit susunan saraf pusat yang
timbul spontan dan berulang dengan episoda singkat (disebut bangkitan berulang
atau recurrent seizure), dengan gejala utama kesadaran menurun sampai hilang.
Bangkitan ini biasanya disertai kejang (konvulsi), hiperaktivitas otonomik,
gangguan sensorik atau psikik dan selalu disertai gambaran letupan EEG (abnormal
dan eksesif). Untuk penyakit epilepsi, gambaran EEG bersifat diagnostik.
Berdasarkan gambaran EEG, epilepsi dapat dinamakan disritmia serebral yang
bersifat paroksismal (Utama, 2007).
Bangkitan epilepsi merupakan fenomena klinis yang
berkaitan dengan letupan listrik atau depolarisasi abnormal yang eksesif,
terjadi di suatu fokus dalam otak yang menyebabkan bangkitan paroksismal. Fokus
ini merupakan neuron epileptik yang sensitif terhadap rangsang disebut neuron
epileptik. Neuron inilah yang menjadi sumber bangkitan epilepsi (Utama, 2007).
Konsep terjadinya epilepsi telah dikemukakan satu abad
yang lalu oleh John Hughlings Jackson, bapak epilepsi modern. Pada fokus
epilepsi di korteks serebri terjadi letupan yang timbul kadang-kadang, secara
tiba-tiba, berlebihan dan cepat, letupan ini menjadi bangkitan umum bila neuron
normal disekitarnya terkena pengaruh letupan tersebut. Konsep ini masih tetap
dianut dengan beberapa perubahan kecil. Adanya letupan depolarisasi abnormal
yang menjadi dasar diagnosis diferensial epilepsi memang dapat dibuktikan (Utama, 2007).
Mekanisme dasar terjadinya bangkitan umum primer adalah
karena adanya cetusan listrik di fokal korteks. Cetusan listrik tersebut akan
melampaui ambang inhibisi neuron di sekitarnya, kemudian menyebar melalui
hubungan sinaps kortiko-kortikal. Tidak ada gejala klinis yang tampak,
abnormalitas EEG tetap terekam pada periode antar kejang. Kemudian, cetusan
korteks tersebut menyebar ke korteks kontralateral melalui jalur hemisfer dan
jalur nukleus subkorteks. Gejala klinis, tergantung bagian otak yang
tereksitasi misalnya salivasi, midriasis, takikardi. Aktivitas subkorteks akan
diteruskan kembali ke fokus korteks asalnya sehingga akan meningkatkan
aktivitas eksitasi dan terjadi penyebaran cetusan listrik ke neuron-neuron
spinal melalui jalur kortikospinal dan retikulospinal sehingga menyebabkan
kejang tonik-klonik umum. Secara klinis terjadi terjadi fase tonik-klonik
berulang kali dan akhirnya timbul “kelelahan” neuron pada fokus epilepsi dan
menimbulkan paralisis dan kelelahan pascaepilepsi (Utama, 2007).
Obat
Antiepilepsi
Penyebab epilepsi adalah kerusakan otak pada manusia muda
(terutama trauma pada saat kelahiran), luka pada otak, tumor otak, ensefalitis,
intoksikasi dan lain-lain. Epilepsia maior, dalam persentae yang kecil,
disebabkan juga oleh faktor keturunan (Mutschler, 1991)
Antiepileptika
digunakan untuk menangani secara simptomatik berbagai jenis epilepsi. Yang
diinginkan dari suatu antiepileptika untuk dapat digunakan ialah bahwa ia
menaikkan nilai ambang kejang, sebaliknya hampir tidak mempengaruhi rangsangan
motorik normal, pada dosis untuk menghambat kejang sebaiknya mempunyai kerja
sedatif/hipnotik yang kecil, dan pada pemakaian lama hanya mempunyai efek
samping yang kecil (Mutschler, 1991).
Mekanisme aksi
obat-obat antiepilepsi menurut Rall dan Schleifer (1992) melalui dua cara :
1. Mencegah
atau menurunkan lepasnya muatan listrik yang berlebihan,
2. Mengurangi
penyebaran pacuan dari fokus serangan dan mencegah cetusan serta putusnya
fungsi agregasi normal neuron.
Sebagian
besar sediaan obat yang ada sekanrang melalui mekanisme ini (Wibowo, 2001).
GABA berfungsi sebagai transmiter
penghambat eksitabilitas neuron. Ada dua macam reseptor GABA di sistem saraf
pusat (SSP), yakni GABAA dan GABAB. Stimulasi reseptor
GABAA menimbulkan kenaikan permeabilitas ion klorida dan induksi
hiperpolarisasi membran pasca sinaptik. Reseptor ini terdapat pada korteks
serebrum dan hipokampus. Reseptor ini mempunyai lokasi prasinaptik pada
akso-aksonal dan akhiran saraf dan menyebabkan mekanisme terjadinya
penghambatan prasinaptik. Reseptor GABAA dipacu oleh sejumlah
senyawa mirip GABA termasuk muskimol (muscimol) dan antagonis kompetitif oleh
bikukulin. Reseptor GABAB, sensitif terhadap agonis baklofen, akan
tetapi tidak sensitif terhadap aksi blocking bikukulin. Stimulasi pada reseptor
ini menyebabkan hiperpolarisasi juga, tetapi akibat perubahan konduksi kalium,
dan prosesnya lebih lambat dibanding dengan yang terjadi pada GABAA.
GABAB tidak berkaitan dengan saluran klorida. Reseptor GABAB
mungkin berlokasi pada akhiran prasinaptik dimana influks kalsium kedalam
akhiran saraf menjadi berkurang yang mengakibatkan penurunan pelepasan
transmiter sinaptik apabila terdapat pacuan saraf prasinaptik. GABAB
terdapat pada serebelum dan medula spinalis (Wibowo, 2001).
Antikonvulsan adalah depresan sistem saraf pusat. Senyawa
ini menekan atau mengurangi fungsi seperti koordinasi dan kewaspadaan. Depresi
atau kegagalan berlebihan dapat terjadi jika antikonvulsan digunakan bersama
depresan sistem saraf pusat lain. Akibatnya, mengantuk , pusing, kehilangan
koordinasi motorik dan kewaspadaan mental, pada keadaan parah timbul kegagalan
peredaran darah dan gangguan fungsi pernapasan, menyebabkan koma dan kematian.
Dokter harus memantau pasien dengan teliti dan menyesuaikan dosis untuk
mengurangi efek depresi yang berlebihan (Harkness, 1989).
Tujuan pokok terapi epilepsi adalah membebaskan pasien
dari babngkitan epilepsi, tanpa mengganggu fungsi normal SSP agar pasien dapat
menunaikan tugasnya tanpa gangguan. Terapi dapat dijalankan dengan berbagai
cara, dan sebaiknya dengan mempertahankan pedoman berikut: (1) melakukan
pengobatan kausal kalau perlu dengan pembedahan, umpamanya pada tumor serebri,
(2) menghindari faktor pencetus suatu bangkitan, umpamanya minum alkohol,
emosi, kelelahan fisik maupun mental, dan (3) penggunaan
antikonvulsi/antiepilepsi (Utama, 2007).
Untuk mencapai hasil terapi yang optimal perlu
diperhatikan hal berikut ini. Pengobatan awal harus dimulai dengan obat
tunggal. Obat perlu dimulai dengan dosis kecil dan dinaikkan secera bertahap
sampai efek terapi tercapai atau timbul efek samping yang tidak dapat
ditoleransi lagi oleh pasien. Interval penyesuaian dosis tergantung dari obat
yang digunakan. Sebelum penggunaan obat kedua sebagai pengganti, bila fasilitas
laboratorium memungkinkan, sebaiknya kadar obat dalam plasma diukur. Bila obat
telah melebihi kadar terapi sedangkan efek terapi belum tercapai atau efek
toksik telah muncul maka penggunaan obat pengganti merupakan keharusan. Obat pertama
harus diturunkan secara bertahap untuk menghindarkan status epileptikus.
Bilamana dianggap perlu terapi kombinasi masih dibenarkan. Kegagalan terapi
epilepsi paling sering disebabkan oleh ketidakpatuhan pasien (Utama, 2007).
Benzodiazepin
Benzodiazepin merupakan obat-obat
basa lemah dan diabsorpsi sangat efektif pada pH tinggi yang ditemukan didalam
duodenum. Kecepatan absorpsi benzodiazepin yang diberikan per oral berbeda
tergantung pada beberapa faktor termasuk sifat kelarutannya dalam lemak. Absorpsi
per oral triazolam sangat cepat sekali dan juga diazepam dan metabolit aktif
dari klorazepat lebih cepat diabsorpsi daripada benzodiazepin lain yang umum
digunakan. Klorazepat dikonversi menjadi bentuk aktifnya, desmetildiazepam oleh
hidrolisa asam di lambung. Oksazepam dan temazepam diabsorpsi lebih lambat
daripada benzodiazepin lain. Bioavailabilitas dari beberapa benzodiazepin,
termasuk klordiazepoksid dan diazepam, tidak dapat diandalkan setelah pemberian
secara intramuskular. Barbiturat dan piperidinedion merupakan asam lemah dan
umumnya sangat cepat diabsorpsi dari lambung ke dalam darah, begitu juga dari
usus halus (Trevor, 1997).
Metabolisme hati bertanggung jawab
terhadap pembersihan atau eliminasi dari semua benzodiazepin. Pola dan kecepatan
metabolisme tergantung pada masing-masing obat. Kebanyakan benzodiazepin
mengalami fase oksidasi mikrosomal (reaksi fase I), termasuk N-dealkilasi dan
hidroksilasi alifatik. Kemudian metabolitnya dikonyugasikan (reaksi fase II)
oleh glukuroniltransferase ke dalam urin. Bagaimanapun, kebanyakan metabolit
fase I benzodiazepin adalah aktif, dengan waktu paruh yang lebih lama dari obat
induknya (Trevor, 1997).
Pembentukan metabolit aktif
mempunyai arti penelitian yang rumit pada farmakokinetik benzodiazepin pada
manusia karena waktu paruh eliminasi dari obat induk hanya sedikit mempunyai
hubungan terhadap lamanya efek farmakologi. Benzodiazepin yang obat induk atau
metabolit aktifnya mempunyai waktu paruh panjang, lebih mungkin menimbulkan
efek kumulatif dengan dosis ganda (Trevor, 1997).
Benzodiazepin mempunyai efek
sedative-tranquilizer. Sebagian besar benzodiazepin digunakan secara luas
sebagai obat antiepilepsi, tetapi hanya klonazepam (clonazepam) dan klorazepat
(clorazepate) yang digunakan di Amerika untuk terapi jangka panjang pada
berbagai tipe bangkitan. Diazepam dan Lorazepam dipakai pada status epileptikus
(Wibowo, 2001).
Mekanisme aksi obat :
1.
Pada, hewan percobaan, pencegahan
terhadap pentilentetrazol lebih menonjol daripada kemampuannya dalam mencegah
bangkitan karena elektroshock maksimal,
2.
Menekan penyebaran aktifitas bangkitan
yang berasal dari fokus epileptogenik pada korteks, talamus, dan limbik, tetapi
tidak menghilangkan lepas muatan listrik abnormal dari fokus,
Pada dosis rendah, benzodiazepin menekan
aktivitas polisinaptik pada medulla dalam sistem retikuler mesensefalik,
3.
Benzodiazepam menaikkan potensi atau
efektivitas neurotransmitter-inhibitor GABA.
Benzodiazepin
menimbulkan inhibisi presinaptik dan postsinaptik (Wibowo, 2001).
Kerja benzodiazepin terutama
merupakan interaksinya dengan reseptor penghambat neurotransmiter yang
diaktifkan oleh asam gamma amino butirat (GABA). Benzodiazepin berikatan
langsung pada sisi spesifik (subunit g) reseptor GABAA
(reseptor kanal ion klorida kompleks), sedangkan GABA berikatan pada subunit α
atau β. Pengikatan ini akan menyebabkan pembukaan kanal klorida, memungkinkan
masuknya ion klorida ke dalam sel, menyebabkan peningkatan potensial elektrik
sepanjang membran sel dan menyebabkan sel sukar tereksitasi (Sinta, 2007).
Diazepam
Diazepam terutama digunakan untuk
terapi konvulsi rekuren, misalnya status epileptikus. Obat ini juga bermanfaat
untuk terapi bangkitan parsial sederhana misalnya bangkitan klonik fokal dan
hipsaritmia yang refrakter terhadap terapi lazim. Diazepam efektif pada
bangkitan lena karena menekan 3 gelombang paku dan ombak yang terjadi dalam
satu detik (Utama, 2007).
Di samping khasiat anksiolitis,
relaksasi otot, dan hipnotiknya, senyawa benzodiazepin ini juga berdaya
antikonvulsif. Berdasarkan khasiat ini, diazepam digunakan pada epilepsi dan
dalam bentuk injeksi i.v. terhadap status epilepticus. Pada penggunaan oral dan
dalam klisma (ractiole), resorpsinya baik dan cepat, tetapi lambat dan tidak
sempurna dalam bentuk suppositoria. Kira-kira 97-99 % diikat pada protein
plasma (Tjay, 2002).
Di dalam hati, diazepam dibiotranformasi
menjadi antara lain N-desmetildiazepam yang juga aktif dengan plasma-t1/2
panjang, antara 42-120 jam. Plasma-t1/2 diazepam sendiri
hanya berkisar antara 20-54 jam. Toleransi dapat terjadi terhadap efek
antikonvulsifnya, sama seperti terhadap efek hipnotiknya. Efek sampingnya
adalah lazim bagi kelompok benzodiazepin, yakni mengantuk, termenung-menung,
pusing, dan kelemahan otot (Tjay, 2002).
Dosis diazepam yaitu 2-4 dd 2-10 mg
dan i.v. 5-10 mg dengan perlahan-lahan (1-2 menit), bila perlu diulang setelah
30 menit, pada anak-anak 2-5 mg. Pada status epilepticus dewasa dan anak di
atas usia 5 tahun 10 mg (rectiole), bayi dan anak-anak di bawah 5 tahun 5 mg
sekali. Pada konvulsi karena demam, anak-anak 0,25-0,5 mg/kg BB (rectiole),
bayi dan anak-anak di bawah 5 tahun 5 mg, setelah 5 tahun 10 mg (Tjay, 2002).