Thursday 29 October 2015

Terapi Non Farmakologi dan Farmakologi Asma

Penatalaksanaan Asma
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Tujuan penatalaksanaan asma :
a.       Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
b.      Mencegah eksaserbasi akut
c.       Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
d.      Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
e.       Menghindari efek samping obat
f.       Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
g.      Mencegah kematian karena asma
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol bila gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam, tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise, kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan), variasi harian APE kurang dari 20 %, nilai APE normal atau mendekati normal, efek samping obat minimal (tidak ada) dan tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat (Katzung, et al., 2006).
  Terapi non farmakologi
A. Edukasi pasien
Edukasi pasien dan keluarga dalam penatalaksanaan asma bertujuan untuk :
a.         meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit asma sendiri)
b.        meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma sendiri/asma mandiri)
c.         meningkatkan kepuasan
d.        meningkatkan rasa percaya diri
e.         meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri
f.         membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma 
 Terapi Farmakologi
A. Simpatomimetik
Kerja farmakologi golongan simpatomimetik yaitu stimulasi reseptor α adrenergik yang mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi, dekongestan nasal dan peningkatan tekanan darah.
a.         Stimulasi reseptor β1 adrenergik sehingga terjadi peningkatan kontraktilitas dan irama jantung.
b.        Stimulasi reseptor β2 yang menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan klirens mukosiliari, stabilisasi sel mast dan menstimulasi otot skelet.
Selektifitas relatif obat-obat simpatomimetik adalah faktor penentu utama penggunaan secara klinik dan untuk memprediksi efek samping yang umum. Obat simpatomimetik selektif β2 memiliki manfaat yang besar dan bronkodilator yang paling efektif dengan efek samping yang minimal pada terapi asma. Penggunaan langsung melalui inhalasi akan meningkatkan bronkoselektifitas, memberikan efek yang lebih cepat dan memberikan efek perlindungan yang lebih besar terhadap rangsangan (misalnya alergen, latihan) yang menimbulkan bronkospasme dibandingkan bila diberikan secara sistemik. Pada tabel 2 dapat dilihat perbandingan efek farmakologi dan sifat farmakokinetik berbagai obat simpatomometik yang digunakan pada terapi asma (Dipiro, et al., 2008).
 Agonis β2 kerja diperlama (seperti salmeterol dan furmoterol) digunakan, bersamaan dengan obat antiinflamasi, untuk kontrol jangka panjang terhadap gejala yang timbul pada malam hari. Obat golongan ini juga dipergunakan untuk mencegah bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan fisik. Agonis β2 kerja singkat (seperti albuterol, bitolterol, pirbuterol, terbutalin) adalah terapi pilihan untuk menghilangkan gejala akut dan bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan fisik.
Efek samping umumnya berlangsung dalam waktu singkat dan tidak ada efek kumulatif yang dilaporkan. Akan tetapi, tidak berarti pengobatan dihentikan, pada beberapa kasus, perlu dilakukan penurunan dosis untuk sementara waktu (Dipiro, et al., 2008).

Obat simpatomimetik dikontraindikasikan untuk penderita yang alergi terhadap obat dan komponennya (reaksi alergi jarang terjadi), aritmia jantung yang berhubungan dengan takikardia, angina, aritmia ventrikular yang memerlukan terapi inotopik, takikardia atau blok jantung yang berhubungan dengan intoksikasi digitalis (karena isoproterenol), dengan kerusakan otak organik, anestesia lokal di daerah tertentu (jari tangan, jari kaki) karena adanya risiko penumpukan cairan di jaringan (udem), dilatasi jantung, insufisiensi jantung, arteriosklerosis serebral, penyakit jantung organik (karena efinefrin); pada beberapa kasus vasopresor dapat dikontraindikasikan, glukoma sudut sempit, syok nonafilaktik selama anestesia umum dengan hidrokarbon halogenasi atau siklopropan (karena epinefrin dan efedrin) (Dipiro, et al., 2008).
Peringatan untuk pasien khusus pergunakan dengan perhatian untuk pasien dengan diabetes mellitus, hipertiroidisme, hipertropi prostat (karena efedrin) atau riwayat seizure, geriatri, psikoneurotik, riwayat asma bronkial dan emfisema pada penyakit jantung degeneratif (karena efinefrin). Pada pasien dengan status asmatikus dan tekanan gas darah abnormal mungkin tidak mengikuti hilangnya bronkospasmus secara nyata setelah pemberian isoproterenol (Dipiro, et al., 2008).

2. Xantin
Metilxantin (teofilin, garamnya yang mudah larut dan turunannya) akan merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh darah pulmonal, merangsang SSP, menginduksi diuresis, meningkatkan sekresi asam lambung, menurunkan tekanan sfinkter esofageal bawah dan menghambat kontraksi uterus. Teofilin juga merupakan stimulan pusat pernafasan. Aminofilin mempunyai efek kuat pada kontraktilitas diafragma pada orang sehat dan dengan demikian mampu menurunkan kelelahan serta memperbaiki kontraktilitas pada pasien dengan penyakit obstruksi saluran pernapasan kronik. Xantin diindikasikan untuk menghilangkan gejala atau pencegahan asma bronkial dan bronkospasma reversibel yang berkaitan dengan bronkhitis kronik dan emfisema (Dipiro, et al., 2008).
A. Aminofilin
Status asmatikus seharusnya dipandang sebagai keadaan emergensi. Terapi optimal untuk pasien asma umumnya memerlukan obat yang diberikan secara parenteral, monitoring ketat dan perawatan intensif. Berikut adalah dosis untuk pasien yang belum menggunakan teofilin. Untuk pasien yang sudah menggunakan teofilin, pastikan jika memungkinkan, waktu, jumlah, bentuk sediaan dan rute pemberian dari dosis terakhir yang diterima pasien. Pemberian dosis awal dari aminofilin dapat diberikan melalui intravena lambat atau diberikan dalam bentuk infus (biasanya dalam 100-200 mL) dekstrosa 5% atau injeksi Na Cl 0,9%. Kecepatan pemberian jangan melebihi 25 mg/mL (Direktorat Bina Farmasi dan Klinik, 2008).
Setelah itu terapi pemeliharaan dapat diberikan melalui infus volume besar untuk mencapai jumlah obat yang diinginkan pada setiap jam. Terapi oral dapat langsung diberikan sebagai pengganti terapi intravena, segera setelah tercapai kemajuan kesehatan yang berarti. Status asmatikus seharusnya dipandang sebagai keadaan emergensi. Terapi optimal untuk pasien asma umumnya memerlukan obat yang diberikan secara parenteral, monitoring ketat dan perawatan intensif (Direktorat Bina Farmasi dan Klinik, 2008).
Dosis untuk pasien yang belum menggunakan teofilin dapat dilihat pada tabel berikut:
Pasien
Dosis awal
Dosis pemeliharaan
Anak 1-9 tahun
6,3 mg/kg a
1 mg/kg/jam a
Anak 9-16 tahun dan perokok dewasa
6,3 mg/kg a
0,8 mg/kg/jam a
Dewasa bukan perokok
6,3 mg/kg a
0,5 mg/kg/jam a
Orang lanjut usia dan pasien dengan gangguan paru-paru
6.3 mg/kg a
0,3 mg/kg/jam a
Pasien gagal jantung kongestiv
6.4 mg/kg a
0,1-0,2 mg/kg/jam a
(Direktorat Bina Farmasi dan Klinik, 2008)

B. Teofilin
Dosis yang diberikan tergantung individu. Penyesuaian dosis berdasarkan respon klinik dan perkembangan pada fungsi paru-paru. Dosis ekivalen berdasarkan teofilin anhidrat yang dikandung. Monitor level serum untuk level terapi dari 10-20 mcg/mL. Berikut adalah dosis yang direkomendasikan untuk pasien yang belum menggunakan teofilin. Dosis awal pada terapi kronis yang digunakan adalah 16 mg/kg dalam 24 jam atau 400 mg dalam sehari, yang dibatasi dengan pemberian teofilin anhidrous dalam interval 6-8 jam. Dosis di atas dapat ditingkatkan menjadi 25% dengan interval 3 hari sebagaimana dapat ditoleransi sampai dosis maksimum tercapai anak (Dipiro, et al., 2008).
3. Antikolinergik
A. Ipratropium Bromida
Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik (parasimpatolitik) yang akan menghambat refleks vagal dengan cara mengantagonis kerja asetilkolin. Bronkodilasi yang dihasilkan bersifat lokal, pada tempat tertentu dan tidak bersifat sistemik. Ipratropium bromida (semprot hidung) mempunyai sifat antisekresi dan penggunaan lokal dapat menghambat sekresi kelenjar serosa dan seromukus mukosa hidung. Digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan bronkodilator lain (terutama beta adrenergik) sebagai bronkodilator dalam pengobatan bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit paru-paru obstruktif kronik, termasuk bronkhitis kronik dan emfisema (Dipiro, et al., 2008).
Dosis penggunaan Ipratropium  dapat dilihat pada tabel berikut:
Bentuk Sediaan
Dosis
Aerosol
2 inhalasi (36 mcg) empat kali sehari. Pasien boleh menggunakan dosis tambahan tetapi tidak boleh melebihi 12 inhalasi dalam sehari
Larutan
Dosis yang umum adalah 500 mcg (1 unit dosis dalam vial), digunakan dalam 3 sampai 4 kali sehari dengan menggunakan nebulizer oral, dengan interval pemberian 6-8 jam. Larutan dapat dicampurkan dalam nebulizer jika digunakan dalam waktu satu jam.
(Direktorat Bina Farmasi dan Klinik, 2008).

B. Tiotropium Bromida
Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama yang biasanya digunakan sebagai antikolinergik. Pada saluran pernapasan, tiotropium menunjukkan efek farmakologi dengan cara menghambat reseptor M3 pada otot polos sehingga terjadi bronkodilasi. Bronkodilasi yang timbul setelah inhalasi tiotropium bersifat sangat spesifik pada lokasi tertentu (Dipiro, et al., 2008).
Tiotropium digunakan sebagai perawatan bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit paru obstruksi kronis termasuk bronkitis kronis dan emfisema. Dosis: 1 kapsul dihirup, satu kali sehari dengan alat inhalasi Handihaler (Dipiro, et al., 2008).
Cara penggunaan tiotropium yaitu sebelum menggunakan, buka kemasan sampai satu kapsul terlihat jelas. Dorong kemasan sampai pada tanda “STOP” pada blister untuk menghindari terpaparnya kapsul lain. Segera pakai kapsul yang sudah terbuka/ jika tidak efikasinya akan berkurang. Buka bagian penutup serbuk dari handihaler dengan cara menariknya ke atas, kemudian buka bagian yang akan dimasukkan ke dalam mulut. Masukkan kapsul ke dalam tabung. Tidak menjadi masalah, bagian mana dari ujung kapsul yang akan dimasukkan ke dalam tabung. Tutup bagian mulut tabung dengan rapat sampai terdengar bunyi “klik” kemudian biarkan bagian penutup sebuk terbuka. Pegang handihaler dengan kuat dengan bagian yang akan dimasukkan ke dalam mulut menghadap ke atas, tekan bagian tombol yang tajam dan lepaskan. Ini akan membuat lubang pada kapsul sehingga obat akan dibebaskan. Buang napas. Jangan bernapas ke bagian tabung yang akan dimasukkan ke dalam mulut untuk beberapa saat (Direktorat Bina Farmasi dan Klinik, 2008).
                        Handihaler dimasukkan ke dalam mulut dan tutup bibir rapat-rapat dan tempelkan pada bibir tabung. Tegakkan kepala dan tarik napas perlahan-lahan dan dalam tapi dengan kecepatan yang cukup untuk mendengar vibrasi kapsul. Tarik napas sampai paru-paru penuh kemudian tahan napas sedemikian sehingga terasa nyaman. Pada saat yang bersamaan, lepaskan handihaler dari mulut. Bernapas seperti biasa. Untuk memastikan pemakaian dosis tiotropium lengkap, ulangi hal ini sekali lagi. Setelah melengkapi dosis tiotropium dalam sehari, buka bagian atas tabung. ambil kapsul yang telah digunakan dan buang. Tutup bagian atas tabung dan penutup serbuk dan simpan (Direktorat Bina Farmasi dan Klinik, 2008).
Efek samping terjadi pada 3% pasien atau lebih, terdiri dari sakit perut, nyeri dada (tidak spesifik), konstipasi, mulut kering, dispepsia, edema, epistaksis, infeksi, moniliasis, myalgia, faringitis, ruam, rhinitis, sinusitis, infeksi pada saluran pernapasan atas, infeksi saluran urin dan muntah. Kontra Indikasi untuk pasien riwayat hipersensitif terhadap atropin atau turunannya, termasuk ipratropium atau komponen sediaan (Dipiro, et al., 2008).

4. Kromolin Sodium dan Nedokromil
A. Kromolin Natrium
Kromolin merupakan obat antiinflamasi. Kromolin tidak mempunyai aktifitas intrinsik bronkodilator, antikolinergik, vasokonstriktor atau aktivitas glukokortikoid. Obat-obat ini menghambat pelepasan mediator, histamin dan SRS-A (Slow Reacting Substance Anaphylaxis, leukotrien) dari sel mast. Kromolin bekerja lokal pada paru-paru tempat obat diberikan. Asma bronkial (inhalasi, larutan dan aerosol) : sebagai pengobatan profilaksis pada asma bronkial. Kromolin diberikan teratur, harian pada pasien dengan gejala berulang yang memerlukan pengobatan secara reguler. Pencegahan bronkospasma (inhalasi, larutan dan aerosol) untuk mencegah bronkospasma akut yang diinduksi oleh latihan fisik, toluen diisosinat, polutan dari lingkungan dan antigen yang diketahui (Dipiro, et al., 2008).
Larutan nebulizer digunakan dengan dosis awal 20 mg diinhalasi 4 kali sehari dengan interval yang teratur. Efektifitas terapi tergantung pada keteraturan penggunaan obat. Pencegahan bronkospasma akut : inhalasi 20 mg (1 ampul/vial) diberikan dengan nebulisasi segera sebelum terpapar faktor pencetus (Dipiro, et al., 2008).
Aerosol  untuk penanganan asma bronkial pada dewasa dan anak 5 tahun atau lebih. Dosis awal biasanya 2 inhalasi, sehari 4 kali pada interval yang teratur. Jangan melebihi dosis ini. Tidak semua pasien akan merespon dosis ini, dosis yang lebih rendah akan diperlukan pada pasien yang lebih muda. Keefektifan pengobatan pada pasien asma kronik tergantung kepada keteraturan penggunaan obat. Pencegahan bronkospasma akut : dosis umum adalah 2 inhalasi secara singkat (misalnya dalam 10 – 15 menit, tidak lebih dari 60 menit) sebelum terpapar faktor pencetus (Dipiro, et al., 2008).
Dosis oral untuk dewasa yaitu 2 ampul, 4 kali sehari, 30 menit sebelum makan dan saat menjelang tidur. Anak – anak 2 – 12 tahun: satu ampul, 4 kali sehari, 30 menit sebelum makan dan saat menjelang tidur.  Jika dalam waktu 2-3 minggu perbaikan gejala tidak tercapai, dosis harus ditingkatkan, tetapi tidak melebihi 40mg/kg/hari (Dipiro, et al., 2008).
Efek samping yang paling sering terjadi berhubungan dengan penggunaan kromolin (pada penggunaan berulang) meliputi saluran pernapasan: bronkospasme (biasanya bronkospasma parah yang berhubungan dengan penurunan fungsi paru-paru/FEV1), batuk, edema laringeal (jarang), iritasi faringeal dan napas berbunyi. Efek samping yang berhubungan dengan penggunaan aerosol adalah iritasi tenggorokan atau tenggorokan kering, rasa tidak enak pada mulut, batuk, napas berbunyi dan mual (Dipiro, et al., 2008).
Kontraindikasi untuk pasien hipersensitif terhadap kromolin atau komponen sediaan. Kromolin tidak diresepkan untuk asma akut terutama status asmatikus, merupakan obat profilaksis yang tidak efektif untuk keadaaan akut.  Reaksi anafilaksis parah dapat terjadi meski jarang. Pada pasien dengan gangguan ginjal/hati, dosis harus diturunkan atau hentikan penggunaan obat (Dipiro, et al., 2008).
Untuk kehamilan termasuk dalam kategori B. Keamanan penggunaan untuk ibu menyusui belum diketahui, keamanan dan efikasi pada anak kurang dari 2 tahun belum diketahui dan untuk bayi lebih dari 6 bulan, pemberian tidak boleh lebih dari 20mg/kg/hari. Pasien umumnya menjadi batuk setelah menggunaan sediaan inhalasi. Asma dapat kambuh jika obat digunakan di bawah dosis yang rekomendasi atau pada penghentian obat. Karena propelan yang ada dalam sediaan, penggunaan ini harus disertai perhatian pada pasien jantung koroner atau aritmia jantung (Diporo, et al., 2006).
B. Nedokromil Natrium
Nedokromil merupakan anti-inflamasi inhalasi untuk pencegahan asma. Obat ini akan menghambat aktivasi secara in vitro dan pembebasan mediator dari berbagai tipe sel berhubungan dengan asma termasuk eosinofil, neutrofil, makrofag, sel mast, monosit dan platelet. Nedokromil menghambat perkembangan respon bronko konstriksi baik awal dan maupun lanjut terhadap antigen terinhalasi (Dipiro, et al., 2008).
Nedokromil diindikasikan untuk asma. Digunakan sebagai terapi pemeliharaan untuk pasien dewasa dan anak usia 6 tahun atau lebih pada asma ringan sampai sedang. Dosis dan Cara Penggunaan  yaitu 2 inhalasi, 4x sehari dengan interval yang teratur untuk mencapai dosis 14 mg/hari. Nedokromil dapat ditambahkan kepada obat pasien yang ada sebelumnya (seperti bronkodilator). Jika efek pengobatan tercapai dan asma terkendali, usaha untuk menurunkan penggunaan obat secara berturut-turut harus dilaksanakan secara perlahan-lahan (Dipiro, et al., 2008).
Efek samping yang terjadi pada penggunaan nedokromil bisa berupa batuk, faringitis, rinitis, infeksi saluran pernapasan atas, bronkospasma, mual, sakit kepala, nyeri pada dada dan pengecapan tidak enak. Kontra Indikasi untuk  hipersensitif terhadap nedokromil atau komponen sediaan. Peringatan untuk bronkospasma akut : nedokromil bukan bronkodilator, dan tidak digunakan untuk bronkospasma akut, khususnya status asmatikus. Untuk keamanan kehamilan  termasuk dalam kategori B, pada ibu menyususi belum diketahui apakah obat terdistribusi ke dalam air susu. Keamanan dan efikasi pada anak di bawah 6 tahun belum diketahui. Sediaan inhalasi dapat menyebabkan batuk dan bronkospasma (Dipiro, et al., 2008). pada beberapa pasien. Jika terapi steroid inhalasi atau sistemik dihentikan, pasien harus dimonitor (Dipiro, et al., 2008).

5. Kortikosteroid
Obat-obat ini merupakan steroid adrenokortikal steroid sintetik dengan cara kerja dan efek yang sama dengan glukokortikoid. Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta adrenergik dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme bronkokonstriktor, atau merelaksasi otot polos secara langsung. Penggunaan inhaler akan menghasilkan efek lokal steroid secara efektif dengan efek sistemik minimal (Dipiro, et al., 2008).
Terapi pemeliharaan dan propilaksis asma, termasuk pasien yang memerlukan kortikosteoid sistemik, pasien yang mendapatkan keuntungan dari penggunaan dosis sistemik, terapi pemeliharaan asma dan terapi profilaksis pada anak usia 12 bulan sampai 8 tahun. Obat ini tidak diindikasikan untuk pasien asma yang dapat diterapi dengan bronkodilator dan obat non steroid lain, pasien yang kadang-kadang menggunakan kortikosteroid sistemik atau terapi bronkhitis non asma (Dipiro, et al., 2008).
Efek samping secara lokal yaitu iritasi tenggorokan, suara serak, batuk, mulut kering, ruam, pernafasan berbunyi, edema wajah dan sindrom flu. Sistemik : depresi fungsi Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA). Terjadinya kematian yang disebabkan oleh insufisiensi adrenal dan setelah terjadinya peralihan dari kortikosteroid sistemik ke aerosol (Dipiro, et al., 2008).




6. Antagonis Reseptor Leukotrien
A. Zafirlukast
Zafirlukast adalah antagonis reseptor leukotrien D4 dan E4 yang selektif dan kompetitif, komponen anafilaksis reaksi lambat (SRSA - slow-reacting substances of anaphylaxis). Produksi leukotrien dan okupasi reseptor berhubungan dengan edema saluran pernapasan, konstriksi otot polos dan perubahan aktifitas selular yang berhubungan dengan proses inflamasi, yang menimbulkan tanda dan gejala asma (Katzung, et al., 2006).
Antagonis Reseptor Leukotrien  diindikasi  untuk profilaksis dan perawatan asma kronik pada dewasa dan anak di atas 5 tahun. Dosis dan cara penggunaan obat golongan antagonis reseptor leukotrien pada dewasa dan anak > 12 tahun : 20 mg, dua kali sehari dan untuk Anak usia 5 – 11 tahun : 10 mg, dua kali sehari. Oleh karena makanan menurunkan bioavailabilitas zafirlukast, penggunaannya sekurang-kurangnya satu jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan. Efek samping terjadi pada 3% pasien seperti sakit kepala, mual dan infeksi (Katzung, et al., 2006).
Zafirlukast dapat menginhibisi isoenzim sitokrom P450 2C9 dan 3A4, penggunaan zafirlukast bersamaan dengan obat-obat yang dimetabolisme oleh obat ini harus disertai perhatian. Obat – obat yang dapat mempengaruhi zafirlukast adalah aspirin, eritromisin dan teofilin. Obat-obat yang dapat dipengaruhi zafirlukast adalah warfarin. Bioavailabilitas zafirlukast menurun jika digunakan bersamaan makanan. Oleh karena itu penggunaan zafirlukast sekurang-kurangnya satu jam sebelum makan atau dua jam setelah makan (Katzung, et al., 2006).
B. Montelukast Sodium
Montelukast adalah antagonis reseptor leukotrien selektif dan aktif pada penggunaan oral, yang menghambat reseptor leukotrien sisteinil (CysLT1). Leukotrien adalah produk metabolisme asam arakhidonat dan dilepaskan dari sel mast dan eosinofil. Produksi leukotrien dan okupasi reseptor berhubungan dengan edema saluran pernapasan, konstriksi otot polos dan perubahan aktifitas selular yang berhubungan dengan proses inflamasi, yang menimbulkan tanda dan gejala asma. Montelukast Sodium diIndikasikan untuk profilaksis dan terapi asma kronik pada dewasa dan anak-anak > 12 bulan (Dipiro, et al., 2008).
Dosis dan cara penggunaan  montelukast sodium dapat dilihat pada tabel berikut:
Bentuk Sediaan
Dosis
Tablet
Dewasa dan remaja >15 tahun
10 mg setiap hari, pada malam hari
Tablet kunyah
Anak 6-14 tahun
5 mg setiap hari, pada malam hari
Anak 5-14 tahun
4 mg setiap hari
Granul
Anak 12 – 23 tahun
1 paket 4 mg granul setiap hari, pada malam hari.


Penyakit Asma / Asthma

Definisi
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napasa yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam hari atau dini hari yang umumnya bersifat revrsibel baik dengan atau tanpa pengobatan (Depkes RI, 2009)
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronchi berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu (Smeltzer and Bare, 2002).

2.1.2        Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asthma bronkial.
a.         Faktor predisposisi
1)        Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asthma bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
b.        Faktor presipitasi
1)        Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a)    Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan, seperti: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
b)   Ingestan, yang masuk melalui mulut, seperti : makanan dan obat-obatan.
c)    Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulitseperti : perhiasan, logam dan jam tangan.
2)        Perubahan cuaca.
     Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
3)        Stress
     Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
4)        Lingkungan kerja.
     Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
5)        Olah raga/aktifitas jasmani yang berat.
6)        Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut (Dipiro, et al., 2008).

2.1.3        Patofisiologi
Suatu serangan akut asma akan disertai oleh banyak perubahan dijalan nafas yang menyebabkan penyempitan: edema dan peradangan selaput lender, penebalan membrane basa, hipersekresi kalenjar mucus dan yang lebih ringan kontraksi otot polos. Perubahan histology yang sama dpat dijumpai pada keadaan tanpa serangan akut akibat pajanan kronik derajat rendah ke satu atau lebih pemicu asma. Melalui berbagai jalur, zat-zat pemicu tersebut merangsang degranulasi sel mast dijalan nafas yang menyebabkan pembebasan berbagai mediator yang bertanggung jawab untuk perubahan yang terjadi. Mediator yang terpenting mungkin adalah leukotrien C, D dan E tetapi terdapat bukti bahwa histamine, PAF, neuropeptida, zat-zat kemotaktik, dan berbagai protein yang berasal dari eosinofil juga berperan penting dalam proses ini. obstruksi menyebabkan peningkatan resistensi jala nafas (terutama pada ekspirasi karena penutupan jalan nafas saat ekspirasi yang terlalu dini); hiperinflasi paru; penurunan elastisitas dan frekuensi-dependent compliance paru; peningkatan usaha bernafas dan dispneu; serta gangguan pertukaran gas oleh paru. Obstruksi yang terjadi tiba-tiba besar kemungkinannya disebabkan oleh penyempitan jalan nafas besar, dengan sedikit keterlibatan jalan nafas halus, dan biasanya berespon baik terhadap terapi bronkodilator. Asma yang menetap dan terjadi setiap hari hampir selalu memiliki komponen atau fase lambat yang menyebabkan penyakit jalan nafas halus kronik dan kurang berespon terhadap terapi bronkodilator saja. Eosinofil diperkirakan merupakan sel efektor utama pada pathogenesis gejala asma kronik, dimana beberapa mediatornya menyebabkan kerusakan luas pada stel epitel bronkus serta perubahan-perubahan inflmatory. Walaupun banyak sel mungkin sitokin (termasuk sel mast, sel epitel, makrofag dan eosinofil itu sendiri) yang mempengaruhi diferensiasi, kelangsungan hidup, dan fungsi eosinofil, sel T type TH2 dianggap berperan sentral, karena sel ini mampu mengenali antigen secara langsung. Obstruksi pada asma biasanya tidak sama, dan defek ventilasi-perkusi menyebabkan penurunan PaO2. Pada eksaserbasi asma terjadi hiperventilasi yang disebabkan oleh dispneu. pada awalnya banyak keluar dan Pa CO2 mungkin rendah namun seiring dengan semakin parahnya obstruksi, PaCO2 meningkat karena hipoventilasi alveolus. Efek obstruksi berat yang timbul mencakup hipertensi pulmonaris, peregangan ventrik (Katzung, et al., 2006).

Gejala
Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa pengobatan. Gejala awal berupa batuk terutama pada malam atau dini hari, sesak napas, napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan napasnya, rasa berat di dada dan dahak sulit keluar.  Sedangkan gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa. Yang termasuk gejala yang berat adalah Serangan batuk yang hebat, Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal, Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut), Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk dan Kesadaran menurun (Direktorat Bina Farmasi dan Klinik, 2007).
Sedangkan menurut Smeltzer & Bare (2002) manifestasi klinis dari asma, diantaranya:
a.         Tiga gejala umum asma adalah batuk, dispnea dan mengi. Serangan asma biasanya bermula mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam dada, disertai dengan pernapasan lambat, mengi dan laborius.
b.        Sianosis karena hipoksia
c.         Gejala retensi CO : diaforesis, takikardia, pelebaran tekanan nadi.

 Diagnosis
Diagnosis asma adalah berdasarkan gejala yang bersifat episodik, pemeriksaan fisiknya dijumpai napas menjadi cepat dan dangkal dan terdengar bunyi mengi pada pemeriksaan dada (pada serangan sangat berat biasanya tidak lagi terdengar mengi, karena pasien sudah lelah untuk bernapas). Dan yang cukup penting adalah pemeriksaan fungsi paru, yang dapat diperiksa dengan spirometri atau peak expiratory flow meter.
a.         Pemeriksaan Fungsi Paru
1)        Spirometri
Spirometri adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital paksa (KVP) dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). Pemeriksaan ini sangat tergantung kepada kemampuan pasien sehingga diperlukan instruksi operator yang jelas dan kooperasi pasien. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang diperiksa. Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai VEP1 < 80% nilai prediksi atau rasio VEP1/KVP < 75%.
Selain itu, dengan spirometri dapat mengetahui reversibiliti asma, yaitu adanya perbaikan VEP1 15 % secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan.
2)        Peak Expiratory Flow Meter (PEF meter)
Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai APE < 80% nilai prediksi. Selain itu juga dapat memeriksa reversibiliti, yang ditandai dengan perbaikan nilai APE > 15 % setelah inhalasi bronkodilator, atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu. Variabilitas APE ini tergantung pada siklus diurnal (pagi dan malam yang berbeda nilainya), dan nilai normal variabilitas ini < 20%. Berikut adalah cara pemeriksaan variabilitas APE yaitu:
         APE malam – APE pagi
       Variabilitas harian = ------------------------------------- x 100%
        ½ (APE malam + APE pagi)

Pada pagi hari diukur APE untuk mendapatkan nilai terendah dan malam hari untuk mendapatkan nilai tertinggi (Direktorat Bina Farmasi dan Klinik, 2007).
b.        Pemeriksaan Tes Kulit (Skin Test)
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
c.         Pemeriksaan Darah
Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada penderita dengan serangan asma berat (Direktorat Bina Farmasi dan Klinik, 2008).

 Klasifikasi
a.         Berdasarkan Penyebab
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu:
1)        Ekstrinsik (alergik)
Asma ekstrinsik ditandai dengan adanya reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus spesifik (alergen), seperti  serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asthma ekstrinsik. Pasien dengan asma ekstrinsik biasanya sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi dalam keluarganya.
2)        Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3)        Asthma gabungan

Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik (Smeltzer & Bare, 2002).