Thursday 23 May 2013

Epilepsi dan Obat Antiepilepsi


Epilepsi
            Epilepsi adalah nama umum untuk sekelompok gangguan atau penyakit susunan saraf pusat yang timbul spontan dan berulang dengan episoda singkat (disebut bangkitan berulang atau recurrent seizure), dengan gejala utama kesadaran menurun sampai hilang. Bangkitan ini biasanya disertai kejang (konvulsi), hiperaktivitas otonomik, gangguan sensorik atau psikik dan selalu disertai gambaran letupan EEG (abnormal dan eksesif). Untuk penyakit epilepsi, gambaran EEG bersifat diagnostik. Berdasarkan gambaran EEG, epilepsi dapat dinamakan disritmia serebral yang bersifat paroksismal (Utama, 2007).
            Bangkitan epilepsi merupakan fenomena klinis yang berkaitan dengan letupan listrik atau depolarisasi abnormal yang eksesif, terjadi di suatu fokus dalam otak yang menyebabkan bangkitan paroksismal. Fokus ini merupakan neuron epileptik yang sensitif terhadap rangsang disebut neuron epileptik. Neuron inilah yang menjadi sumber bangkitan epilepsi (Utama, 2007).
            Konsep terjadinya epilepsi telah dikemukakan satu abad yang lalu oleh John Hughlings Jackson, bapak epilepsi modern. Pada fokus epilepsi di korteks serebri terjadi letupan yang timbul kadang-kadang, secara tiba-tiba, berlebihan dan cepat, letupan ini menjadi bangkitan umum bila neuron normal disekitarnya terkena pengaruh letupan tersebut. Konsep ini masih tetap dianut dengan beberapa perubahan kecil. Adanya letupan depolarisasi abnormal yang menjadi dasar diagnosis diferensial epilepsi memang dapat dibuktikan  (Utama, 2007).
            Mekanisme dasar terjadinya bangkitan umum primer adalah karena adanya cetusan listrik di fokal korteks. Cetusan listrik tersebut akan melampaui ambang inhibisi neuron di sekitarnya, kemudian menyebar melalui hubungan sinaps kortiko-kortikal. Tidak ada gejala klinis yang tampak, abnormalitas EEG tetap terekam pada periode antar kejang. Kemudian, cetusan korteks tersebut menyebar ke korteks kontralateral melalui jalur hemisfer dan jalur nukleus subkorteks. Gejala klinis, tergantung bagian otak yang tereksitasi misalnya salivasi, midriasis, takikardi. Aktivitas subkorteks akan diteruskan kembali ke fokus korteks asalnya sehingga akan meningkatkan aktivitas eksitasi dan terjadi penyebaran cetusan listrik ke neuron-neuron spinal melalui jalur kortikospinal dan retikulospinal sehingga menyebabkan kejang tonik-klonik umum. Secara klinis terjadi terjadi fase tonik-klonik berulang kali dan akhirnya timbul “kelelahan” neuron pada fokus epilepsi dan menimbulkan paralisis dan kelelahan pascaepilepsi (Utama, 2007).

Obat Antiepilepsi
            Penyebab epilepsi adalah kerusakan otak pada manusia muda (terutama trauma pada saat kelahiran), luka pada otak, tumor otak, ensefalitis, intoksikasi dan lain-lain. Epilepsia maior, dalam persentae yang kecil, disebabkan juga oleh faktor keturunan (Mutschler, 1991)
            Antiepileptika digunakan untuk menangani secara simptomatik berbagai jenis epilepsi. Yang diinginkan dari suatu antiepileptika untuk dapat digunakan ialah bahwa ia menaikkan nilai ambang kejang, sebaliknya hampir tidak mempengaruhi rangsangan motorik normal, pada dosis untuk menghambat kejang sebaiknya mempunyai kerja sedatif/hipnotik yang kecil, dan pada pemakaian lama hanya mempunyai efek samping yang kecil (Mutschler, 1991).
            Mekanisme aksi obat-obat antiepilepsi menurut Rall dan Schleifer (1992) melalui dua cara :
1.      Mencegah atau menurunkan lepasnya muatan listrik yang berlebihan,
2.      Mengurangi penyebaran pacuan dari fokus serangan dan mencegah cetusan serta putusnya fungsi agregasi normal neuron.
Sebagian besar sediaan obat yang ada sekanrang melalui mekanisme ini (Wibowo, 2001).
            GABA berfungsi sebagai transmiter penghambat eksitabilitas neuron. Ada dua macam reseptor GABA di sistem saraf pusat (SSP), yakni GABAA dan GABAB. Stimulasi reseptor GABAA menimbulkan kenaikan permeabilitas ion klorida dan induksi hiperpolarisasi membran pasca sinaptik. Reseptor ini terdapat pada korteks serebrum dan hipokampus. Reseptor ini mempunyai lokasi prasinaptik pada akso-aksonal dan akhiran saraf dan menyebabkan mekanisme terjadinya penghambatan prasinaptik. Reseptor GABAA dipacu oleh sejumlah senyawa mirip GABA termasuk muskimol (muscimol) dan antagonis kompetitif oleh bikukulin. Reseptor GABAB, sensitif terhadap agonis baklofen, akan tetapi tidak sensitif terhadap aksi blocking bikukulin. Stimulasi pada reseptor ini menyebabkan hiperpolarisasi juga, tetapi akibat perubahan konduksi kalium, dan prosesnya lebih lambat dibanding dengan yang terjadi pada GABAA. GABAB tidak berkaitan dengan saluran klorida. Reseptor GABAB mungkin berlokasi pada akhiran prasinaptik dimana influks kalsium kedalam akhiran saraf menjadi berkurang yang mengakibatkan penurunan pelepasan transmiter sinaptik apabila terdapat pacuan saraf prasinaptik. GABAB terdapat pada serebelum dan medula spinalis (Wibowo, 2001).
            Antikonvulsan adalah depresan sistem saraf pusat. Senyawa ini menekan atau mengurangi fungsi seperti koordinasi dan kewaspadaan. Depresi atau kegagalan berlebihan dapat terjadi jika antikonvulsan digunakan bersama depresan sistem saraf pusat lain. Akibatnya, mengantuk , pusing, kehilangan koordinasi motorik dan kewaspadaan mental, pada keadaan parah timbul kegagalan peredaran darah dan gangguan fungsi pernapasan, menyebabkan koma dan kematian. Dokter harus memantau pasien dengan teliti dan menyesuaikan dosis untuk mengurangi efek depresi yang berlebihan (Harkness, 1989).
            Tujuan pokok terapi epilepsi adalah membebaskan pasien dari babngkitan epilepsi, tanpa mengganggu fungsi normal SSP agar pasien dapat menunaikan tugasnya tanpa gangguan. Terapi dapat dijalankan dengan berbagai cara, dan sebaiknya dengan mempertahankan pedoman berikut: (1) melakukan pengobatan kausal kalau perlu dengan pembedahan, umpamanya pada tumor serebri, (2) menghindari faktor pencetus suatu bangkitan, umpamanya minum alkohol, emosi, kelelahan fisik maupun mental, dan (3) penggunaan antikonvulsi/antiepilepsi (Utama, 2007).
            Untuk mencapai hasil terapi yang optimal perlu diperhatikan hal berikut ini. Pengobatan awal harus dimulai dengan obat tunggal. Obat perlu dimulai dengan dosis kecil dan dinaikkan secera bertahap sampai efek terapi tercapai atau timbul efek samping yang tidak dapat ditoleransi lagi oleh pasien. Interval penyesuaian dosis tergantung dari obat yang digunakan. Sebelum penggunaan obat kedua sebagai pengganti, bila fasilitas laboratorium memungkinkan, sebaiknya kadar obat dalam plasma diukur. Bila obat telah melebihi kadar terapi sedangkan efek terapi belum tercapai atau efek toksik telah muncul maka penggunaan obat pengganti merupakan keharusan. Obat pertama harus diturunkan secara bertahap untuk menghindarkan status epileptikus. Bilamana dianggap perlu terapi kombinasi masih dibenarkan. Kegagalan terapi epilepsi paling sering disebabkan oleh ketidakpatuhan pasien (Utama, 2007).

Benzodiazepin
            Benzodiazepin merupakan obat-obat basa lemah dan diabsorpsi sangat efektif pada pH tinggi yang ditemukan didalam duodenum. Kecepatan absorpsi benzodiazepin yang diberikan per oral berbeda tergantung pada beberapa faktor termasuk sifat kelarutannya dalam lemak. Absorpsi per oral triazolam sangat cepat sekali dan juga diazepam dan metabolit aktif dari klorazepat lebih cepat diabsorpsi daripada benzodiazepin lain yang umum digunakan. Klorazepat dikonversi menjadi bentuk aktifnya, desmetildiazepam oleh hidrolisa asam di lambung. Oksazepam dan temazepam diabsorpsi lebih lambat daripada benzodiazepin lain. Bioavailabilitas dari beberapa benzodiazepin, termasuk klordiazepoksid dan diazepam, tidak dapat diandalkan setelah pemberian secara intramuskular. Barbiturat dan piperidinedion merupakan asam lemah dan umumnya sangat cepat diabsorpsi dari lambung ke dalam darah, begitu juga dari usus halus (Trevor, 1997).
            Metabolisme hati bertanggung jawab terhadap pembersihan atau eliminasi dari semua benzodiazepin. Pola dan kecepatan metabolisme tergantung pada masing-masing obat. Kebanyakan benzodiazepin mengalami fase oksidasi mikrosomal (reaksi fase I), termasuk N-dealkilasi dan hidroksilasi alifatik. Kemudian metabolitnya dikonyugasikan (reaksi fase II) oleh glukuroniltransferase ke dalam urin. Bagaimanapun, kebanyakan metabolit fase I benzodiazepin adalah aktif, dengan waktu paruh yang lebih lama dari obat induknya (Trevor, 1997).
            Pembentukan metabolit aktif mempunyai arti penelitian yang rumit pada farmakokinetik benzodiazepin pada manusia karena waktu paruh eliminasi dari obat induk hanya sedikit mempunyai hubungan terhadap lamanya efek farmakologi. Benzodiazepin yang obat induk atau metabolit aktifnya mempunyai waktu paruh panjang, lebih mungkin menimbulkan efek kumulatif dengan dosis ganda (Trevor, 1997).
            Benzodiazepin mempunyai efek sedative-tranquilizer. Sebagian besar benzodiazepin digunakan secara luas sebagai obat antiepilepsi, tetapi hanya klonazepam (clonazepam) dan klorazepat (clorazepate) yang digunakan di Amerika untuk terapi jangka panjang pada berbagai tipe bangkitan. Diazepam dan Lorazepam dipakai pada status epileptikus (Wibowo, 2001).
            Mekanisme aksi obat :
1.        Pada, hewan percobaan, pencegahan terhadap pentilentetrazol lebih menonjol daripada kemampuannya dalam mencegah bangkitan karena elektroshock maksimal,
2.        Menekan penyebaran aktifitas bangkitan yang berasal dari fokus epileptogenik pada korteks, talamus, dan limbik, tetapi tidak menghilangkan lepas muatan listrik abnormal dari fokus,
       Pada dosis rendah, benzodiazepin menekan aktivitas polisinaptik pada medulla dalam sistem retikuler mesensefalik,
3.        Benzodiazepam menaikkan potensi atau efektivitas neurotransmitter-inhibitor GABA.
Benzodiazepin menimbulkan inhibisi presinaptik dan postsinaptik (Wibowo, 2001).
            Kerja benzodiazepin terutama merupakan interaksinya dengan reseptor penghambat neurotransmiter yang diaktifkan oleh asam gamma amino butirat (GABA). Benzodiazepin berikatan langsung pada sisi spesifik (subunit g) reseptor GABA­A (reseptor kanal ion klorida kompleks), sedangkan GABA berikatan pada subunit α atau β. Pengikatan ini akan menyebabkan pembukaan kanal klorida, memungkinkan masuknya ion klorida ke dalam sel, menyebabkan peningkatan potensial elektrik sepanjang membran sel dan menyebabkan sel sukar tereksitasi (Sinta, 2007).




Diazepam
            Diazepam terutama digunakan untuk terapi konvulsi rekuren, misalnya status epileptikus. Obat ini juga bermanfaat untuk terapi bangkitan parsial sederhana misalnya bangkitan klonik fokal dan hipsaritmia yang refrakter terhadap terapi lazim. Diazepam efektif pada bangkitan lena karena menekan 3 gelombang paku dan ombak yang terjadi dalam satu detik (Utama, 2007).
            Di samping khasiat anksiolitis, relaksasi otot, dan hipnotiknya, senyawa benzodiazepin ini juga berdaya antikonvulsif. Berdasarkan khasiat ini, diazepam digunakan pada epilepsi dan dalam bentuk injeksi i.v. terhadap status epilepticus. Pada penggunaan oral dan dalam klisma (ractiole), resorpsinya baik dan cepat, tetapi lambat dan tidak sempurna dalam bentuk suppositoria. Kira-kira 97-99 % diikat pada protein plasma (Tjay, 2002).
            Di dalam hati, diazepam dibiotranformasi menjadi antara lain N-desmetildiazepam yang juga aktif dengan plasma-t1/2 panjang, antara 42-120 jam. Plasma-t1/2 diazepam sendiri hanya berkisar antara 20-54 jam. Toleransi dapat terjadi terhadap efek antikonvulsifnya, sama seperti terhadap efek hipnotiknya. Efek sampingnya adalah lazim bagi kelompok benzodiazepin, yakni mengantuk, termenung-menung, pusing, dan kelemahan otot (Tjay, 2002).
            Dosis diazepam yaitu 2-4 dd 2-10 mg dan i.v. 5-10 mg dengan perlahan-lahan (1-2 menit), bila perlu diulang setelah 30 menit, pada anak-anak 2-5 mg. Pada status epilepticus dewasa dan anak di atas usia 5 tahun 10 mg (rectiole), bayi dan anak-anak di bawah 5 tahun 5 mg sekali. Pada konvulsi karena demam, anak-anak 0,25-0,5 mg/kg BB (rectiole), bayi dan anak-anak di bawah 5 tahun 5 mg, setelah 5 tahun 10 mg (Tjay, 2002).

DIURETIKA


Pengertian Diuretik
Diuretik adalah zat-zat yang dapat memperbanyak pengeluaran kemih (diuresis) melalui kerja langsung terhadap ginjal. Obat-obat lainnya yang menstimulasi diuresis dengan memengaruhi ginjal secara tak langsung tidak termasuk dalam definisi ini, misalnya zat-zat yang memperkuat kontraksi jantung (digoxin dan teoflin), memperbesar volume darah (dekstran) atau merintangi sekresi ormon antidiuretik ADH (air, alkohol) (Tjay, T.H dan Rahardja, K. 2007)
Walaupun kerjanya pada ginjal, diuretika bukanlah obat ginjal, artinya senyawa ini tidak bisa memperbaiki atau menyembuhkan penyakit ginjal. Beberapa diuretika  pada awal pengobatan justru memperkecil ekskresi zat-zat penting urin engan mengurani laju filtrasi glomerulus sehingga akan memperburuk insufisiensi ginjal (Mutsler, E. 1986)
2.2       Efek Samping Diuretik dan Perhatian
Efek Samping dan Perhatian yang harus diperhatikan dari diuretik antara lain :
1.      Gangguan cairan dan elektrolit. Sebagian efek samping berkaitan dengan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, antara lain hipotensi, hiponetremia, hipokleremia, hipokalsemia dan hipomagnesemia. (Gunawan, 2007).
2.      Ototoksisitas. Asam etakrinat dapat menyebabkan ketulian sementara maupun menetap, dan hal ini merupakan efek samping yang serius. Ketulian sementara juga dapat terjadi pada furosemid dan lebih jarang pada bumetanid. Ketulian ini mungkin sekali disebakan oleh perubahan komposisi elektrolit cairan endolimfe. Ototoksitas merupakan suatu efek samping unik kelompok obat ini. (Gunawan, 2007).
3.      Hipotensi dapat terjadi akibat depelsi volume  sirkulasi. (Gunawan, 2007).
4.      Efek metabolik. Seperti diuretic tiazid, diuretic kuat juga dapat menimbulkan efek samping metabolic berupa hiperurisemia, hiperglikemua, peningkatan kolesterol LDL dan trigliserida, serta penurunan HDL (Gunawan, 2007).
5.      Reaksi alergi. Reaksi alergi umumnya berkaitan dengan struktur molekul yang menyerupai sulfonamide. Diuretic kuat dan diuretic tiazid dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat alergi sulfonamide. Asam etakrinat merupakan satu-satunya diuretic kuat yang tidak termasuk golongan sulfonamide, dan digunakan khususnya untuk pasien yang alergi terhadap sulfonamide. (Gunawan, 2007).
6.      Nefritis interstisialis alergik. Furosemid dan tiazid diduga dapat menyebabkan nefritis interstisialis alergik yang menyebabkan gagal ginjal reversibel. (Gunawan, 2007).
            Berdasarkan efeknya pada janin hewan coba, maka diuretic kuat ini tidak dianjurkan pada wanita hamil, kecuali bila mutlak diperlukan. (Gunawan, 2007).
2.3       Interaksi Diuretik
            Seperti diuretic tiazid, hipopkalemia akibat pemberian diuretic kuat dapat meningkatkan risiko aritmia pada pasien yang juga mendapat digitalis atau obat antiaritma (Gunawan, 2007).
            Pemberian bersama obat yang bersifat nefrotosik seperti aminoglikosida dan antikanker sisplatin akan meningkatkan risiko nefrotoksisitas (Gunawan, 2007).
            Probenesid mengurangi sekresi diuretik ke lumen tubulus sehingga efek diuresisnya berkurang (Gunawan, 2007).
            Diuretik kuat dapat berinteraksi dengan warfarin dan klofibrat melalui penggeseran ikatannya dengan protein. Pada penggunaan kronis, diuretic kuat ini dapat menurunkan klirens litium. Penggunaan bersama dengan sefalosporin dapat meningkatkan nefrotoksisitas sefalosporin. Antiinflamasi nonsteroid terutama indometasin dan kortikosteroid melawan kerja furosemid (Gunawan, 2007).
            Menurut Richard Harkness (1984), obat-obat berkhasiat diuretikamemiliki berbagai interaksi dengan senyawa lain, seperti berikut :
          - Diuretika dengan antidepresan (jenis IMAO)
            Dapat menyebabkan tekanan darah turun terlalu rendah
          - Diuretika dengan kaptopril                                           
            Dapat sangat munurunkan tekanan darah
          - Diuretika dengan kortikostroida
                        Dapat menyebabkan tubuh kehilangan banyak kalium dan menahan terlalu banyak natrium
          - Diuretika dengan obat diabetes
            Efek obat diabetes dilawan oleh diuretika
          - Diuretika dengan obat jantung digitalis
            Efeknya dapat merugikan jantung
          - Diuretika dengan litium
            Efek litium yakni antipsikotika dapat meningkat
          - Diuretika dengan NSAID’s
            Efek diuretika dapat berkurang
          - Diuretika dengan Prasozin
                        Diuretika dapat menyebabkanmeningkatnya efek merugikan dari dosis pertama prasozin (Harkness, R.1984)
2.4       Penggolongan diuretik
Sebagian besar diuretik bekerja dengan menurunkan reabsorpsi elektrolit oleh tubulus (atas). Ekskresi elektrolit yang meningkat diikuti oleh peningkatan ekskresi air, yang penting untuk mempertahankan keseimbangan osmotik. Direutik digunakan untuk mengurangi edema pada gagal jantung kongestif, beberapa penyakit ginjal, dan sirosis hepatitis. Beberapa diuretik, terutama tiazid, secara luas digunakan pada terai hipertensi, namun kerja hipotensif jangka panjangnya tidak hanya berhubungan dengan sifat deuretiknya (Neal,2006).
Tiazid dan senyawa yang berkaitan (kanan atas) bersifat aman, aktif secara oral, namun merupakan diuretik yang relatif lemah. Obat yang lebih efektif adalah high ceeling atau diuretik loop (kiri atas). Obat ini mempunyai awitan yang sangat kuat (sehingga diberi istilah ‘high ceelibg’) dan bisa menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit serta dehidrasi yang serius. Metolazon merupakan obat yang berkaitan dengan tiazid dan aktivitasnya berada di antara diuretik loop dan tiazid. Metolazon mempunyai efek sinergis yang kuat dengan furosemid, dan kombinasi tersebut bisa efektif pada edema yang resisten dan pada pasien dengan gagal ginjal yang serius. Tiazid dan diuretik loop meningkatkan ekskresi kalium, dan mungkin dibutuhkan suplemen kalium untuk mencegah hipokalemia (Neal,2006) .
Beberapa diuretik bersifat ‘hemat kalium’ (kanan bawah). Diuretik ini lemah bila digunakan tersendiri, namun menyebabkan retensi kalium, dan sering diberikan bersama tizaid atau diuretik loop untuk mencegah hipokalemia (Neal,2006).
Inhibitor karbonat anhidrase (kiri bawah) merupakan diuretik lemah dan jarang digunakan untuk diambil efek diuretiknya. Diuretik osmotik (misalnya manitol) merupakan senyawa yang difiltrasi, namun tidak direabsorpsi. Diuretik osmotik diekskresikan dalam jumlah osmotik yang sama dengan air dan digunakan pada edema serebri, dan kadang-kadang untuk mempertahankan diuresis selama pembedahan (Neal,2006) .
Ginjal merupakan salah satu unsur jalur utama untuk eliminasi obat, dan gangguan fungsi ginjal pada usia lanjut atau pada penyakit ginjal dapat menurunkan eliminasi obat secara signifikan (Neal,2006).
Aldosteron menstimulasi Na+  pada tubulus distal dan meningkatkan sekresi  K+ dan H+. Obat ini bekerja pada reseptor sitoplasmik (Bab 33) dan menginduksi  sintesis Na+  / K+  -ATPase pada membran basolateral dan kanal NA+ di membran lumen. Peningkatan permeabilitasnya kanal Na+ yang lebih cepat dapat diperantai oleh reseptor aldosteron di permukaan sel. Diuretik meningkatkan muatan Na+ pada tubulus distal dan kecuali untuk obat-obat hemat kalium, hal ini menyebabkan peningkatan sekresi (dan ekskresi) K+. Efek ini lebih hebat apabila kadar aldosteron plasma tinggi sebagai contoh, bila terapi diuretik yang kuat sudah mengurangi simpanan Na+ tubuh (Neal,2006).
Vasopresin (ADH) dilepaskan dari kelenjar hipofisis posterior. Obat ini meningkatkan jumlah kanal air pada duktus koligens sehingga memungkinkan reabsorpsi air secara pasif. Pada diabetes insipidus ‘kranial’ tidak adanya ADH menyebabkan ekskresi urin hipotonis dengan volume besar. Kelainan ini diterapi dengan vasopresin atau desmopresin, suatu analog kerja panjang (Neal,2006).
2.4.1        Inhibitor karbonat ahidrase
menurunkan reabsorpsi bikarbonat pada tubulus proksimal melalui inhibisi katalisis hidrasi CO2 dan reaksi dehidrasi. Oleh karena itu ekskresi HCO3- menyebabkan asidosis metabolik dan efek obat menjadi self-timming pada saat bikarbonat darah turun. Na+ yang meningkatkan yang dialirkan ke nefron distal meningkatkan sekresi K+. Asetazolamid digunakan pada terapi glaukoma untuk menurunkan tekanan intraokular, yang dicapai dengan mengurangi sekresi HCO3- dan H2O yang terkait ke dalam aqueous humuor (Bab 10). Asetazolamid juga digunakan sebagai profilaksis untuk mountain altitude sickness (Neal,2006).
Karbonik anhidrase adalah enzim yang mengkatalisis reaksi CO2 + H2O ↔ H2CO3. Enzim ini terdapat antara lain dalam sel korteks renalis pankreas, mukosa lambung, mata, eritrosit, dan SSP, tetapi tidak terdapat dalam plasma. Enzim ini dapat dihambat aktivitasnya oleh sianida, azida, dan sulfida. Derivat sulfonamid yang juga dapat menghambat kerja enzim ini adalah asetazolamid dan diklorofenamid. Asetazolamd mudah diserap melalui saluran cerna.obat ini mengalami proses sekresi aktif oleh tubuli dan sebagian direabsorbsi secara pasif. Asetazolamid terikat kuat pada karbonik anhidrase, sehingga terakumulasi dalam sel yang banyak mengandung enzim ini, terutama sel eritrosit dan korteks ginjal. Obat penghambat karbonik anhidrase tidak dapat masuk kedalam eritrosit, jadi efeknya hanya terbatas pada ginjal saja. Distribusi penghambat karbonik anhidrase dalam tubuh ditentukan oleh tidak adanya enzim karbonik anhidrase dalam sel yang bersangkutan dan dapat tidaknya obat itu masuk kedalam sel. Asetazolamid tidak dimetabolisme dan diekskresi dalam bentuk utuh melalui urin (Gunawan, 2007).
2.4.2        Tiazid
Tiazid terbentuk dari inhibitor karbonat anhidrase. Akan tetapi aktivitas diuretik obat ini tidak berhubungan dengan efeknya pada enzim. Tiazid digunakan secara luas pada terapi gagal jantung ringan dan hipertensi dimana telah terbukti bahwa obat tersebut menurunkan insidensi stroke. Terdapat banyak macam tiazid, namun satu-satunya perbedaan utama adalah durasi kerjanya. Yang paling banyak digunakan adalah bendroflumetiazid (Neal,2006).
Benzotiazid atau tiazid berefek langsung terhadap transpor Na+  dan Cl- di tubuli ginjal, lepas dari efek penghambatannya terhadap enzim karbonik anhidrase. Diuretik tiazid bekerja menghambat simporter Na+  dan Cl- di hulu tubulus distal. Sistem transpor ini dalam keadaan normal berfungsi membawa Na+  dan Cl- dari lumen kedalam sel epitel tubulus. Na+  selanjutnya dipompakan keluar tubulus dan ditukar dengan K+, sedangkan Cl- dikeluarkan melalui kanal klorida. Efek farmakodinamik tiazid yang utama adalah meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan sejumlah air (Gunawan,2007).
Mekanisme kerja
Tiazid bekerja terutama pada segmen awal tibulus distal, dimana tiazid menghambat reabsorpsi NaCl dengan terikat pada sinporter yang berperan untuk kotranspor Na+/Cl- elektronetral. Terjadi peningkatan ekskresi Cl-, Na+ dan disertai H2O. Beban Na+ yang meningkat dalam tubulus distal, menstimulasi pertukaran Na+ dengan K+ dan H+, meningkatkan sekresinya dan menyebabkan hipoklamia dan alkalosis metabolik (Neal,2006).
Efek Samping
Efek simpang termasuk kelemahan, impotensi, dan kadang-kadang ruam kulit. Reaksi alergi yang serius (misalnya trombositopenia) jarang terjadi. Yang lebih sering terjadi adalah efek metabolik seperti berikut :
1.      Hipokalemia bisa mempresipitasi aritmia jantung, terutama pada pasien yang mendapat digitalis. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian suplemen kalium bila dibutuhkan, atau terapi kombinasi dengan diuretik hemat kalium.
2.      Hiperurisemia. Kadar asam urat dalam darah seringkali meningkat karena tiazid disekresei oleh sistem sekresi asam organik dalam tubulus dan berkompetensi untuk sekresi asam urat. Keadaan ini dapat dipresipitasikan goul.
3.      Toleransi glukosa bisa terganggu dan tiazid adalah kontraindikasi pada pasien dengan diabetes tidak tergantung insulin.
4.      Lipid. Tiazid meningkatkan kadar kolesterol p;asma paling tidak selama 6 bulan pertama pemberian obat, tetapi signifikansinya tidak jelas.
(Neal,2006).
2.4.3        Diuretik loop
Diuretik loop(biasanya furosemid) diberikan secara oral dan digunakan untuk mengurangi edema perifier dan edema paru pada gagal jantung sedang sampai berat (Bab 18). Obat ini diberikan secara ventrikel akut. Tidak seperti tizaid, diuretik loop efektip pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal (Neal,2006).
Mekanisme kerja
Obat yang bekerja di loop menghambat  reabsorpsi NaCl dalam ansa Henle aendens segmen tebal. Segmen ini mempunyai kapasitas yang besar untuj mengabsorpsi NaCl sehingg obat yang bekerja pada tempat ini menyebabkan diuresis yang lebih hebat daripada diuretik lain. Diuretik loop bekerja pada membran lumen dengan cara menghambat kotranspor Na+/K+/2Cl-. (Na+ secara aktif ditranspor keluar sel ke alam interstisium oleh pompa yang tergantung pada Na+/K+ -ATPse di membran basolateral). Spesifikasitas diuretik loop disebabkan oleh konsenstrasi lokalnya yang tinggi dalam tubulus ginjal. Akan tetapi, pada dosis tingggi, obat ini bisa menginduksi perubahan komposisi elektrolit dalam endolimfe dan menyebabkan ketulian (Neal,2006).
Efek Samping
Obat yang bekerja di loop dapat menyebabkan hiponatremia, hipotensi, hipovolemia, hipokalemia. Kehilangan kalium, seperti denagn pemberian tizaid, secara klinis seringkali tidak penting kecuali bila terdapat faktor resiko tambahan untuk aritma (miaslnya terapi dengan digoksin). Ekskresi kalsium dan magnetsium meningkat dan dapat terjadi hipomagnesemia. Penggunaan diuretik loop yang berlebihan (dosis tinggi, pemberian secara intravena)bisa menyebabkan ketulian, tyang tidak dapat pulih kembali (Neal,2006).
2.4.4        Diuretik hemat kalium
Diuretik ini bekerja pada segmen yang berespon terhadapa aldosteron pada nefron distal, dimana homeositas K+ dikendalikan. Aldosteron menstimulasi reabsorpsi Na+, membangkitakan potensial negatif dalam lumen, yang mengarahkan ion K+ dan H+ ke dalam lumen (dan kemudian ekskresinya). Diuretik hemat kaium menurunkan reabsorpsi Na+ dengan mengantagonis aldosteron (spironolakton) atau memblok kanal Na+ (amilorid, triamteren). Hal ini menyebabkan potensial listrik epitel tubulus menurun, sehingga gaya untuk sekresi K+ berkurang. Obat ini dapat menyebabkanhiperkalemia berat, terutama pada pasien dengan gangguan ginjal. Hiperkalemia juga mungkin terjadi bila pasien juga mengkonsumsi inhibitor ACE (misalnya kaptopril), karena obat ini menurunkan sekresi aldosteron (dan selanjutnya ekskresi K+) (Neal,2006).
Sprinoloakton secara kompetitif memblok ikatab aldosteron pada reseptor sitoplasma sehinga meningkatkan ekskresi Na+ (Cl- dan H2O) dan menurunkan sekresi K+ yang diperkuat oleh listrik. Sprinolakton merupakan diuretik lemah, karena hanya 2% dari reabsorpsi Na+ total yang berada di bawah kendali aldosteron. Sprinolakton terutama digunakan pada penyakit hati dengan asites, sindrom Conn (hiperaldosteronisme primer), dan gagal jantung berat (Neal,2006).
Amilorid dan triamteren menurunkan permeabilitas  membran lumen terhadap Na+ pada distal nefron dengan mengisi kanal Na+ dan menghambatnya dengan perbandingan 1:1. Hal ini meningkatkan ekskresi Na+ (Cl- dan H2O) dan menurunkan ekskresi K+ (Neal,2006).
Yang tergolong dalam kelompok ini adalah antagonis aldosteron, triamteren dan amilorid. Efek diuretiknya tidak sekuat golongan diuretik kuat.
·         Antagonis aldosteron
Aldosteron adalah mineralokortikoid endogen yang paling kuat. Peranan utama aldosteron adalah memperbesar reabsorbsi natrium dan klorida di tubuli distal serta memperbesar ekskresi kalium. Jadi hiperaldosteronisme akan terjadi penurunan kadar kalium dan alkalosis metabolik karena reabsorbsi HCO3- dan sekresi H+ yang bertambah. Mekanisme kerja antagonis aldosteron adalah penghambatan kompetitif terhadap aldosteron. Ini terbukti dari kenyataan bahwa obat ini hanya efektif bila terdapat aldosteron baik endogen maupun eksogen dalam tubuh dan efeknya dapat dihilangkan dengan meninggikan kadar aldosteron. Jadi dengan pemberian antagonis aldosteron, reabsorbsi Na+ dan K+ di hilir tubuli distal dikurangi, dengan demikian ekskresi K+ juga bekurang. Saat ini ada 2 macam antagonis aldosteron, yaitu spironolakton dan eplerenon.
(Gunawan,2007)
·         Triamteren dan amilorid
Kedua obat ini terutama memperbesar ekskresi natrium dan klorida, sedangkan ekskresi kalium berkurang dan ekskresi bikarbonat tidak mengalami perubahan. Triamteren menurunkan ekskresi K+ dengan menghambat seksresi kalium disel tubuli distal. Berkurangnya reabsorbsi Na+ ditempat tersebut mengakibatkan turunnya perbedaan potensial listrik transtubular, sedangkan adanya perbedaan ini diperlukan untuk berlangsungnya proses kalium oleh sel tubuli distal.    (Gunawan,2007)
2.5 Furosemid
Furosemida merupakan diuretika golongan sulfonamida dengan nama kimia asam-4-kloro-N furfuril-5-sulfamoil antranilat. Rumus molekulnya adalah C12H11ClN2O5S, berat molekul 330,74. Furosemida berbentuk kristal, warna putih sampai putih kekuningan dan tidak berbau dengan harga pKa 3,9. Furosemida praktis tidak larut dalam air; mudah larut dalam aseton, dalam dimetilforfamida dan dalam larutan alkali hidroksida; larut dalam metanol; agak sukar larut dalam etanol; sukar larut dalam eter; sangat sukar larut dalam kloroform (Anonim,1979).
Furosemida merupakan diuretik kuat. Tempat kerja utamanya di bagian cabang menaik yang tebal dari jerat Henle, karena itu disebut sebagai loop diuretik. Mekanisme kerja dari senyawa ini adalah memblok pembawa Na+, K+, Cl- dari tepi lumen dan dengan cara ini menghambat absorpsi ion natrium, kalium dan klorida dalam cabang tebal jerat Henle menaik. Sifat khas dari senyawa ini adalah kerjanya yang singkat akan tetapi sangat intensif sehingga sangat bermanfaat jika diperlukan kerja diuretik yang cepat dan intensif (Syukri,2004).

2.6 Diuretik Menjadi Pertimbangan lain dalam Pemilihan obat Antihipertensi
2.6.1 Efek Yang Berpotensi Menguntungkan
• Diuretik tipe thiazide berguna untuk memperlambat demineralisasi pada osteoporosis.
• β-blocker dapat berguna untuk pengobatan atrial takhiaritmia/fibrilasi, migraine,tirotoksikosis (jangka pendek), atau tremor esensial. 
• Kalsium antagonis dapat berguna juga untuk pengobatan sindroma Raynaud dan aritmia tertentu
• α-blocker dapat berguna untuk gangguan prostat
(Anonim,2006)
2.6.2 Efek Yang Berpotensi Tidak Menguntungkan
• Diuretik tipe thiazide harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan diagnosa pirai atau yang mempunyai sejarah medis hiponatremia yang bermakna.
• Hindari penggunaan penyekat  β pada pasien asma,  reactive airway disease, atau second or third degree heart block
• ACEI dan ARB tidak boleh diberikan kepada perempuan punya rencana hamil dan kontraindikasi pada perempuan hamil. ACEI tidak boleh diberikan pada pasien dengan riwayat angioedema. Antagonis aldosteron dan diuretic penahan kalium dapat menyebabkan hiperkalemia, sehingga jangan diberikan kepada pasien dengan kalium serum >5.0 mEq/L (tanpa minum obat apa-apa) Diuretik, terutama golongan tiazid, adalah obat lini pertama untuk kebanyakan pasien dengan hipertensi(Ditjen Farmasi, 2006).
Bila terapi kombinasi diperlukan untuk mengontrol tekanan darah, diuretik salah satu obat yang direkomendasikan. Empat subkelas diuretik digunakan untuk mengobati hipertensi: tiazid, loop, agen penahan kalium, dan antagonis aldosteron. Diuretik penahan kalium adalah obat antihipertensi yang lemah bila digunakan sendiri tetapi memberikan efek aditif bila dikombinasi dengan golongan tiazid atau loop. Selanjutnya diuretik ini dapat menggantikan kalium dan magnesium yang hilang akibat pemakaian diuretik lain. Antagonis aldosteron (spironolakton) dapat dianggap lebih poten dengan mula kerja yang lambat (s/d 6 minggu untuk spironolakton). Tetapi, JNC 7 melihatnya sebagai kelas yang independen karena bukti mendukung indikasi khusus. Pada pasien dengan fungsi ginjal cukup (± GFR> 30 ml/menit), tiazid paling efektif untuk menurunkan tekanan darah(Ditjen Farmasi, 2006).
Bila fungsi ginjal berkurang, diuretik yang lebih kuat diperlukan untuk mengatasi peningkatan retensi sodium dan air. Furosemid 2x/hari dapat digunakan. Jadwal minum diuretik harus pagi hari untuk yang 1x/hari, pagi dan sore untuk yang 2x/hari untuk meminimalkan diuresis pada malam hari. Dengan penggunaan secara kronis, diuretik tiazide, diuretik penahan kalium, dan antagonis aldosteron jarang menyebabkan diuresis yang nyata. Perbedaan farmakokinetik yang penting dalam golongan tiazid adalah waktu paruh dan lama efek diuretiknya. Hubungan perbedaan ini secara klinis tidak diketahui karena waktu paruh dari kebanyakan obat antihipertensi tidak berhubungan dengan lama kerja hipotensinya. Lagi pula, diuretik dapat menurunkan tekanan darah terutama dengan mekanisme extrarenal.  Diuretik sangat efektif menurunkan tekanan darah bila dikombinasi dengan kebanyakan obat antihipertensif lain. Kebanyakan obat antihipertensi menimbulkan retensi natrium dan air; masalah ini diatasi dengan pemberian diuretik bersamaan. Efek samping diuretik tiazid termasuk hipokalemia, hipomagnesia, hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperglisemia, hiperlipidemia, dan disfungsi seksual. Diuretik loop dapat menyebabkan efek samping yang sama, walau efek pada lemak serum dan glukosa tidak begitu bermakna, dan kadang-kadang dapat terjadi hipokalsemia(Ditjen Farmasi, 2006).
Studi jangka pendek menunjukkan kalau indapamide tidak mempengaruhi lemak atau glukosa atau disfungsi seksual.  Semua efek samping diatas berhubungan dengan dosis. Kebanyakan efek samping ini teridentifikasi dengan pemberian tiazid dosis tinggi (misalnya HCT 100mg/hari). Guideline sekarang menyarankan dosis HCT atau klortalidone 12.5 – 25 mg/hari, dimana efek samping metabolik akan sangat berkurang (Ditjen Farmasi,2006).
Diuretik penahan kalium dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama pada pasien dengan penyakit ginjal kronis atau diabetes dan pada pasien yang menerima ACEI, ARB, NSAID, atau supplemen kalium. Hiperkalemia sangat bermasalah terutama dengan eplerenone, antagonis aldosteron yang terbaru (Ditjen Farmasi, 2006).
Diuretik bermanfaat dalam pengobatan berbagai penyakit yang berhubungan dengan retensi abnormal garam dan air dalam kompartamin ekstraseluler tubuh, biasanya dirujuk sebagai edeme, pada umumnya, diuretic merupakan zat yang meningkatkan laju ekstrasi urin oleh ginjal, terutama melalui penurunan reabsorpsi subular. Ion natrium dan airnya dalam tubulus ginjal yang setara secara osmetik. Penimbunan cairan berlebih dalam kompartemen akstraseluler  dapat disebabkan oleh kegagalan jantung, sirosis hati, gangguan ginjal, toksemia kehamilan atau akibat sampingan obat (Ditjen Farmasi, 2006).
Fungsi utama ginjal adalah memelihara kemurnian darah dengan jalan mengeluarkan semua zat asing dan sisa pertukaran zat dari dalam darah. Untuk ini, darah mengalami filtrasi, dimana semua komponennya melintasi saringan ginjal kecuali zat putih telur dan sel – sel darah. Setiap ginjal mengandung lebih kurang satu juta filter kecil (glomeruli), dan setiap 50 menit seluruh darah tubuh (ca 5 liter) sudah ‘dimurnikan’ dengan melewati saringan tersebut
Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel kembali menjadi normal. Pengaruh diuretik terhadap ekskresi zat terlarut penting artinya untuk menentukan tempat kerja diuretik dan sekaligus untuk menormalkan akibat suatu diuretik. Secara umum diuretic dapat dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu (1) diuretic osmotic ; (2)penghambat mekanisme transport elektrolit d dalam tubuli ginjal. Pengaruh diuretik terhadap ekskresi zat terlarut penting artinya untuk menentukan tempat kerja diuretik dan sekaligus untuk meramalkan akibat penggunaan suatu diuretik (Ditjen Farmasi, 2006).
hiperkalemia melebihi diuretik penahan kalium lainnya, bahkan spironolakton. Eplerenone dikontraindikasikan untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau diabetes tipe 2 dengan proteinuria. Kalau spironolakton menyebabkan gynecomastia pada  ±10% pasien, dengan eplerenon gynecomastia jarang terjadi

AKTIVITAS RESPONS IMUN SPESIFIK


Aktivasi sistem imun spesifik memerlukan partisipasi kelompok sel yang disebut sebagai antigen presenting cell (APC), diantaranya sel makrofag, sel dendritik, sel langerhans, dan sel limfosit B. Tahap paling awal aktivasi sistem imun adalah fagositosis/internalisasi antigen oleh sel APC, dilanjutkan dengan proses proteolisis menghasilkan peptida dengan 8-14 asam amino. Antigen yang sudah diolah ini selanjutnya digabungkan dengan protein khusus yang disebut MHC (mayor histocompatibility complex). Kompleks antigen MHC ditampilkan di permukaan sel APC untuk kemudian ditangkap oleh reseptor sel T (CD4) (Gunawan, 2009)
Sel T Helper (CD4) yang teraktivasi akan memproduksi berbagai sitokin, terutama interleukin-2 yang berperan mengaktifkan sel T Helper 1 dan sel T Helper 2. TH1 menghasilkan interferon gamma (IFN-γ), IL-2, dan tumor necrosis factor β (TNF β), yang nantinya akan mengaktifkan sel T sitotoksik (CD8), makrofag, dan sel natural killer (NK) untuk respon imunitas seluler. Sedangkan sel. TH2 menghasilkan IL-4,5,6, dan 10 yang nantinya mengaktifkan sel B menjadi sel plasma penghasil antibodi (gunawan 2009).
Sebagian sel B dan sel T yang sudah teraktivasi akan disimpan sebagai sel memori yang nantinya dikerahkan untuk respons sekunder. Respons terhadap antigen ekstrasel terjadi melalui kerja TH2 yang berakhir pada pembentukan antibodi netralisasi. Sebaliknya respon terhadap organisme intasel seperti mikobakterium berkaitan dengan TH1 yang berakhir pada aktivasi sel makrofag. Sel T sitotoksik mengenal peptida yang disajikan oleh sel-sel yang terinfeksi virus. Sel NK dapat mengenal dan menghancurkan sel-sel tumor dan sel-sel yang terinfeksi (Gunawan, 2009).
            Dua jenis sel darah putih yang memegang peranan penting dalam sistem imunitas adalah magrofa dan limfosit. Respon inmun terhadap suatu antigen dimulai pertama-tama dengan penyerapannya oleh magrofa, yang kemudian menyajikan antigen tersebut kepada limfosit. Seperti diketahui limfosit terdiri dari dua jenis, yakni T-cell dan B-cell (Tan dan Kirana, 2002)
Tujuan akhir dari dua imunitas yang secara artifisial dapat ditimbulkan dengan jalan vaksinasi adalah untuk menciptakan perlindungan dari tubuh terhadap antigen atau terhadap mikroba yang membawanya. (Tan dan Kirana, 2002)
  1. Imunitas aktif
Kekebalan aktif diperoleh sebagai akibat dari infeksi dengan kuman patogen, atau dapat juga secara buatan melalui penyuntikan dengan kuman patogen yang telah mati, dilemahkan atau dengan produk metabolismenya. Untuk imunisasi aktif ini digunakan vaksin (cacar, kolera, pertusis, pes, tbc, rabies, influenza, dan polio). Begitu pula toksoid ( difteri dan tetanus), yakni toksin kuman yang dibuat tidak toksik lagi dengan jalan manipulasi kimiawi. Tujuan pemberian vaksin adalah merangsang imunitas selular maupun imunitas humoral seperti yang layaknya timbul sebagai reaksi terhadap suatu infeksi alami (Tan dan Kirana, 2002)
Antibodies ( imunoglobulin) yang dibentuk oleh tubuh pada imunisasi aktif diekskresikan lebih lambat dari pada antibodi yang diberikan dari luar sebagai serum  (imunisasi pasif). Dengan demikian imunisasi aktif terutama digunakan bila dikehendaki kekebalan yang lama terhadap suatu penyakit.  Lazimnya imunitas ini berlansung selama beberapa bulan sampai beberapa tahun dan dapat ditimbulkan kembali dengan penyuntikan ulang (booster). Tujuan injeksi booster atau revaksinasi pertama, yang diberi paling lambat setelah 6 bulan serentetan injeksi primer, adalah untuk memperkuat imunitas yang semula yang telah ditimbulkan. Injeksi primer dan revaksinasi  pertama disebut imunisasi dasar. (Tan dan Kirana, 2002)
  1. Imunisasi pasif
Antisera, imunosera atau singkatnya sera adalah sera hewan yang mengandung antibodi spesifik dalam kadar tinggi. Anti sera diperoleh dari suatu penyuntikan antigen tertentu kedalam jaringan seekor hewan (imunitas aktif), yang kemudian membentuk antibodi. Kemudian serum dengan antibodi tersebut dipisahkan dan disuntikkan kedalam tubuh hewan lain atau manusia, yang menimbulkan kekebalan pasif terhadap penyakit tersebut.  Cara ini dinamakan imunisasi pasif. (Tan dan Kirana, 2002)
Fungsinya adalah menghindari penyebaran hama infeksi dan pembiakan dalam jaringan. Umumnya sera anti bakterial memiliki khasiat terapi yang rendah sekali. Sebaliknya sera terhadap infeksi virus memiliki khasiat yang tinggi bila diberikan pada permukaan masa inkubasi. Efeknya kecil sekali atau tidak ada bila diberikan setelah penyakitnya sudah berjangkit (Tan dan Kirana, 2002)
Imunitas yang diperoleh dengan imunisasi pasif ini selalu bertahan agak singkat, biasanya hanya beberapa minggu sampai beberapa bulan. Penggunaan pada keadaan akut, misalnya bila infeksi sudah terjadi, maka imunisasi aktif sudah tidak dapat digunakan dengan efektif. Penyebabnya ialah masa inkubasi suatu infeksi berlansung antara 2-5 hari, sedangkan pembentukan antibodi dalam tubuh umumnya membutuhkan waktu beberapa minggu. Pengecualiaan adalah pada rabies dengan tunas yang panjang ( serum anti-rabies)  (Tan dan Kirana, 2002).
Tipe imunitas seseorang berbeda-beda, kemampuan tubuh terhadap penyakit bisa dipengaruhi secara alami maupun dapatan. Faktor alami yang mempengaruhi antara lain spesies, ras, keturunan atau faktor individu. Imunitas dapatan dapat diperoleh secara alami yang diperoleh akibat serangan infeksi, penyakit yang kemudian menghasilkan imunitas aktif atau imunitas pasif. Imunitas dapatan yang aktif diberikan antigen secara injeksi seperti toksin, bakteri dan beberapa bahan lainnya. Penggunaan imunitas yang tepat dapat mengurangi penyakit, namun penggunaan imunitas yng umum dapat menyebabkan resistensi (Karsner, 1921).
HISTAMIN
Alergi, istilah ini disebut juga hipersensitifitas, yang menggambarkan reaktivitas khusus dari tuan rumah terhadap suatu unsur eksogen, yang timbul pada kontak keduakali atau berikutnya. Reaksi hipersensitivitas ini meliputi sejumlah peristiwa autoimun dan alergi eksogen atas dasar proses imunologi. Pada hakekatnya proses imunologi tersebut, walaupun bersifat merusak, berfungsi melindungi organisme terhadap zat – zat asing yang menyerang tubuh (Tan dan Kirana, 2008).
Bila suatu protein asing (antigen) masuk berulang kali ke dalam aliran darah seseorang yang berbakat hipersensitivitas tinggi, maka limfosit-B akan membentuk antibodi dari tipe IgE. IgE ini , yang juga disebut Reagin , mengikat diri pada membran mast-cells tanpa menimbulkan gejala (Tan dan Kirana, 2008).
PEMBAGIAN HISTAMIN
Pembagian histamin atas 2, diantaranya :
1.      Histamine Endogen
           Histamin berperan penting dalam fenomena fisiologis dan patologis terutama pada anafilaksis, alergi, trauma dan syok. Selain itu terdapat bukti bahwa histamine merupakan mediator terakhir dalam respon sekresi cairan lambung; histamine juga mungkin berperan dalam regulasi mikrosirkulasi dan dalam fungsi SSP (Neal,2006).
           Histamin terdapat pada hewan antara lain pada bisa ular, zat beracun, bakteri dan tanaman. Hampir semua jaringan mamalia mengandung precursor histamine. Kadar histamine paling tinggi ditemukan pada kulit, mukosa usus, dan paru-paru (Neal,2006).
           Histamine asal makanan atau yang dibentuk bakteri usus bukan merupakan sumber histamine endogen karena sebagian besar histamine ini dimetabolisme di dalam hati, paru-paru serta jaringan lain dan dikeluarkan melalui urin. Enzim penting untuk sintesis histamine adalah L-histidin dekarboksilase. Depot utama histamin ialah mast cell dan juga basofil dalam darah (Neal,2006).
2.      Histamine Eksogen
           Histamine eksogen bersumber dari daging, dan bakteri dalam lumen usus atau kolon yang membentuk histamine dari histidin. Sebagian histamine diserap kemudian sebagian besar akan dihancurkan dalam hati, sedangkan sebagian kecil masih ditemukan dalam arteri tetapi jumlahnya terlalu rendah untuk merangsang sekresi lambung. Pada pasien sirosis hepatis, kadar histamine dalam darah arteri akan meningkat setelah makan daging, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya tukak peptik (Neal,2006).
Histamine diserap secara baik setelah pemberian SC atau IM. Efeknya tidak ada karena histamine cepat dimetabolisme dan mengalami difusi ke jaringan. Histamine yang diberikan oral tidak efektif karena diubah oleh bakteri usus menjadi N-asetil-histamin yang diserapkan diinaktivasi dalam dinding usus atau hati (Neal,2006).
           Pada manusia ada dua jalan utama dalam metabolisme histamine, yaitu: (1) metilasi oleh histamine-N-metiltransferase menjadi N-metilhistamin; N-metilhistamin oleh MAO diubah menjadi asam N-metil imidazol asetat; (2) deaminasi oleh histamine atau diaminoksidase yang non-spesifik menjadi asam imidazol asetat dan mungkin juga dalam bentuk konjugasinya dengan ribose. Metabolit yang terbentuk akan dieksresikan dalam urin (Neal,2006).
            IgE merupakan kelas utama antibodi reaginik. Pada pasien alergi kadar antibodi spesifik bisa meningkat sampai 100 kali lebih banyak daripada normal. Terikatnya bagian Fc antibodi dengan reseptor pada sel mast, diikuti oleh ikatan silang molekul yang berdekatan oleh antigen, memicu degranulasi oleh suatu mekanisme yang melibatkan influks Ca2+ (Neal,2006).
            Sel mast berisi simpanan histamin tubuh dan terdapat pada hampir seluruh jaringan. Dalam sel mast, histamin berikatan dengan heparin pada granula sitoplasma. Secara normal pelepasan histamin melibatkan influks ion Ca2+ dan karena permiabilitas membran sel terhadap ion Ca2+ berkurang ketika kadar adenosin monophosphat siklik (cAMP) intreseluler meningkat, obat-obat yang menstimulasi sintesis cAMP (agonis adrenoseptor β2 mengurangi pelepasan histamin) (Neal,2006).
Histamin memegang peranan utama pada proses peradangan dan pada sistem daya tangkis. Kerjanya berlangsung melalui tiga jenis reseptor yaitu reseptor H1, H2, dan H3. Reseptor H1 secara selektif diblok oleh antihistaminika, (H1 blockers), reseptor H2 oleh penghambat asam lambung (H2 blockers). Reseptor H2 juga memegang peranan pada regulasi tonus saraf simpatikus  (Tan dan Kirana, 2007)
Aktivitas terpenting histmin adalah
1.      Kontraksi otot polos brochi, usus, dan rahim
  1. Vasodilatasi semua pembuluh dengan penurunan tekanan darah
  2. Memperbesar permeabilitas kapiler untuk cairan dan protein, dengan akibat udema dan pengembangan mukosa
  3. Hipersekresi ingus dan air mata, ludah dahak dan asam lambung
  4. Stimulasi ujung saraf dengan eritema dan gatal-gatal (Tan dan Kirana, 2007)
Dalam keadaan normal, kadar histamin dalam darah hanya rendah sekitar 50 mcg/l sehingga tidak menimbulkan efek. Baru bila mastsells dirusak membrannya sebagai akibat dari salah satu faktor, maka dibebaskanlah banyak histamin sehingga efek itu menjadi nyata. Setelah melakukan kegiatannya, kelebihan histamin diuraikan oleh enzim histaminase yang juga terdapat dalam jaringan (Tan dan Kirana, 2007).
Bila suatu protein asing (antigen) masuk berulangkali kedalam aliran darah seseorang yang memiliki “bakat” hipersensitif maka limfosit-B akan membentuk antibodi dari tipe IgE (disamping IgC dan IgM). IgE ini juga disebut sebagai reagin, mengikat diri pada membran mast cells tanpa menimbulkan gejala. Apabila kemudian antigen (alergen) yang sama atau yang mirip rumus bangunnya memasuki darah lagi, maka IgE akan mengenali dan mengikat padanya. Hasilnya adalah suatu reaksi alergi  akibat pecahnya membran mastsells (degranulasi). Sejumlah zat perantara (mediator) dilepaskan, yakni histamin bersama serotonin, bradikinin dan asam arachionat, yang kemudian diubah menjadi prostaglandin dan leukotrien). Zat-zat ini menarik makrofag dan neutropil (=leukosit tertentu ke tempat infeksi untuk memusnahkan penyerbu, selain itu juga menyebabkan beberapa yaitu brochokontriksi, vasodilatasi, dan pembengkakan jaringan sebagai reaksi terhadap masuknya antigen. Mediator tersebut secara langsung atau melalui susunan saraf otonom menimbulkan bermacam-macam penyakit alergi penting, seperti asma, rhinitis allergica, dan eksim (Tan dan Kirana, 2007).
Pada asma yang di cetus oleh alergi, Antibodies tipe IgE (Imunoglobulin type E) mengikat diri pada mastcells yait disaluran nafas, mata, dan hidung. Bilamana jumlah IgE cukup besar, maka pada waktu alergen yang identik masuk lagi ke dalam tubuh, terjadilah pengabungan antigen-antibody. Mastcells pecah (degranulasi) dan segera melepas mediatornya yaitu histamin. Akibatnya adalah brochokontriksi (bronchospasm) dengan pengembangan mukosa (udema) dan